
www.rakyatbicara.id – Jakarta, Kantor Berita RBN- Terjadinya indikasi persekongkolan untuk mufakat jahat antara Menteri Agraria dan Tata Ruang ATR/BPN, Sofyan A Djalil dengan Kwee Cahyadi Kumala alias Sweeteng agar Menteri ATR/BPN Sofyan A Djalil tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap terkait tanah Hambalang Bogor dengan patut diduga suap ratusan miliar rupiah menjadi ancaman terhadap Negara yang layak untuk segera diantisipasi oleh Presiden Jokowi selaku Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan demi untuk dapat berlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara dengan baik dan benar, karena indikasi praktik mafia tanah seperti itu bisa jadi berkembang ke berbagai tempat dan tanah lainnya.
Hal itu disampaikan oleh Aktivis Bela Negara, Laspen Sianturi untuk memulai pembicaraan di Kantor Redaksi RBN di Jakarta pada hari Kamis (20/1/2022) baru baru ini.
Sianturi juga menambahkan, bilamana dilakukan telusur terhadap rekam jejak tanah Hambalang dimaksud, ditemukan fakta kebenaran bahwasanya alas hak kepemilikan awal tanah PT Buana Estate pada tahun 1977 lalu diduga cacat hukum dan terindikasi “rampok” tanah Negara dan tanah masyarakat seluas 700 hektar, karena terkait asal usul tanah sertifikat HGU No. 1/Hambalang atas nama PT Buana Estate terindikasi merupakan hasil perbuatan melawan hukum di masa lalu dengan penyerobotan tanah terhadap Perkebunan Ciderati/ Masyarakat karena adanya Hak Erparcht De te Buitenzorg Gevostigde NV Handle en Cultur Matschappy Tjidatatie seluas 813 Ha yakni hak Erparcht No. 79, No. 107, No. 108, No. 213, dan No. 220 yang berlaku sampai dengan tahun 1980, tetapi pada tahun 1977 PT Buana Estate bisa memohon penerbitan sertifikat HGU dengan diduga secara praktik mafia tanah secara sistematis.
Sebahagian atas tanah dmaksud disewakan kepada masyarakat setempat dengan sistem plasma. Sesuai rekam jejaknya, sebelum Indonesia merdeka warga masyarakat Hambalang sudah menguasai fisik tanahnya untuk dimanfaatkan sebagai lahan bertani dan berkebun dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Tahun 1962, masyarakat telah membayar pajak hasil bumi dan tahun 1964 masyarakat telah mendapatkan kartu kuning surat tanda kepemilikan sementara (landreform) dari Kadaster Bogor. Tetapi sertifikat HGU No. 1 terbit atas nama PT. Buana Estate oleh Kantor BPN pada tanggal 25 Maret 1977 dan berakhir tanggal 30 Desember 2002. Penerbitan Sertifikat HGU No. 1 tersebut sama sekali tidak diketahui oleh masyarakat dan bahkan Aparat Desa sekalipun juga tidak ada yang mengetahui informasinya. Tidak pernah ada pemberitahuan secara terbuka kepada Kepala Desa dan/atau masyarakat. Adapun penerbitan HGU No. 1/Hambalang adalah atas dasar bantuan oknum KODAM V JAYA di masa lalu sehingga terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK1/HGU/DA/77 tanggal 25 Januari 1977 dengan memutuskan antara lain:, sebelum terbit Sertifikat HGU atas nama PT. Buana Estate seharusnya terlebih dahulu membayar ganti rugi kepada NV Handel en Cultur Matschappij Tjideratie sesuai Diktum Kedua dan juga harus terlebih dahulu membayar ganti rugi kepada masyarakat yang menguasai fisik tanahnya, sesuai Diktum Keempat surat keputusan tersebut. Adapun pembayaran ganti rugi dimaksud sama sekali tidak pernah dilaksanakan oleh PT Buana Estate, akan tetapi langsung saja sertifikat diterbitkan oleh BPN dengan sembarangan yaitu sertifikat HGU No. 1 atas nama PT. Buana Estate.
Pada penerbitan sertifikat HGU No. 1/Hambalang, PT. Buana Estate diduga menipu Negara dengan persekongkolan mufakat jahat bersama oknum karena alas hak PT. Buana Estate yang dibuat di Kantor Notaris R. Soerojo Wongsowidjojo SH yakni Akta No. 39 tanggal 18 Juni 1976 silam, dimana pada halaman 2 akta dimaksud tertulis keterangan, “Bahwa berdasarkan surat dari Kepala Kantor Agraria dan Pengawasan Agraria Daerah Bogor (pada waktu itu) tertanggal 25 Nopember 1967 No. 1364/Kapad/P/1967, surat mana aslinya tidak diperlihatkan kepada saya Notaris”.
Sebelum sertifikat No. 1/Hambalang atas nama PT. Buana Estate tersebut habis masa berlakunya, kemudian PT. Buana Estate mengajukan permohonan perpanjangan HGU kepada BPN dengan surat No. 01/BE/III/2000/G tanggal 22 Maret 2000. Atas dasar pasal 10 ayat (1) PP No. 40 tahun 1996 permohonan tersebut ditolak oleh BPN sesuai dengan surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor No. 250-46 tanggal 23 Desember 2002, bahwasanya menyatakan tanah tersebut kembali ke Negara di bawah wewenang Bupati Bogor, terhitung sejak 31 Desember 2002 karena tidak sesuai dengan pasal 9 ayat (1) PP No. 40 tahun 1996.
Setelah permohonan perpanjangan HGU No. 1 atas nama PT. Buana Estate ditolak, selanjutnya PT. Buana Estate memohon rekomendasi No. 011/Komlh/BE/I/2003 tanggal 28 Januari 2003 kepada Bupati Bogor untuk mendapatkan persetujuan perpanjangan HGU No. 1 dimaksud. Bahwa atas dasar kesepakatan dan persetujuan bersama antara Ketua DPRD Bogor, para Pejabat PEMDA Bogor, Camat Citeureup, para Kepala Desa setempat dengan PT. Buana Estate, maka terbitlah surat rekomendasi Bupati Bogor No. 593.4/135. Pem.Um tanggal 13 Juli 2004. Yaitu menyetujui diperpanjang SHGU No. 1 hanya seluas 450,055 Ha atas nama PT. Buana Estate dan sisanya 250 Ha diperuntukkan untuk kepentingan Pemerintah Desa dan prioritas masyarakat. Kemudian keputusan Bupati tersebut ditindak lanjuti oleh PT. Buana Estate pada tanggal 24 Agustus 2004, dengan membayar pemasukan ke Kas Negara sebesar Rp. 140.943.000 (seratus empat puluh juta sembilan ratus empat puluh tiga ribu rupiah) untuk seluas 455,05 Ha dan bukan untuk tanah seluas 6.578.315 M2.
Tanpa memperhatikan surat Bupati Bogor No. 593.4/135. Pem.Um tanggal 13 Juli 2004 dimaksud bahwasanya tanah tersebut kembali ke Negara di bawah wewenang Bupati Bogor, Kepala BPN RI dimana ketika itu dijabat oleh Joyo Winoto, PhD menerbitkan Surat Keputusan No. 9/HGU/BPN/2006 yaitu pemberian perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha kepada PT Buana Estate seluas 6.578.315 M2 selama 25 tahun. Dengan dasar Surat Keputusan tersebut pada tanggal 15 Juni 2006 Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor menerbitkan 6 (enam) sertifikat HGU dan satu sertifikat diantaranya yaitu sertifikat HGU No. 149/Hambalang di dalamnya termasuk tanah masyarakat seluas 211 hektar, dan akibatnya terjadi gugatan PTUN Jakarta, dimana pihak penggugat masyarakat Bogor/PT Genta Prana dan pihak tergugat adalah Kepala BPN RI dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.
Adapun sertifikat HGU No. 1/Hambalang terbit atas nama PT Buana Estate pada tahun 1977 dan berakhir haknya pada tahun 2002, dan kemudian diperpanjang pada tahun 2006. Ada rentang waktu empat lamanya dari masa berakhir haknya pada tahun 2002 sampai diperpanjang pada tahun 2006. Dalam hal ini diduga terjadi praktek mafia tanah oleh BPN di masa lalu karena perpanjangan hak PT Buana Estate seharusnya tidak boleh diterbitkan BPN perpanjangan haknya tetapi melainkan pembaharuan hak, akibatnya diduga terjadi borok warisan dari masa lalu sampai saat ini.
PT Genta Prana mengajukan gugatan ke PTUN dan dimenangkan oleh PT Genta Prana dengan Putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu Putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjaun Kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009. Adapun isi putusan dimaksud adalah, menyatakan batal Surat Keputusan Tergugat I/Terbanding Nomor: 9/HGU/BPN/2006 tanggal 01 Juni 2006 tentang pemberian perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha atas tanah terletak di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, atas nama PT. Buana Estate, sebatas dan seluas 6.578.315 M2. Memerintahkan kepada Tergugat I dan Tergugat II/para Terbanding untuk mencabut keputusannya masing-masing sebagaimana tersebut dalam amar putusan di atas dan menerbitkan keputusan baru tentang perpanjangan Hak Guna Usaha atas nama PT. Buana Estate/Tergugat II Intervensi/Terbanding dengan mengeluarkan tanah yang dikuasai oleh para Penggugat/para Pembanding seluas 2.117.500 M2. Memerintahkan kepada Tergugat I dan Tergugat II/para Terbanding untuk memproses lebih lanjut penerbitan Hak Guna Bangunan atas nama PT. Genta Prana (para Penggugat/para Pembanding) atas tanah seluas 2.117.500 M2 sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku.
Untuk menjalankan isi putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu Putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjauan Kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009, Joyo Winoto, PhD selaku Kepala BPN RI/ Pihak tergugat ketika itu, membuat surat keputusan pembatalan No.1/Pbt/BPNRI/2011 tanggal 15 April 2011, dimana inti dari pembatan tersebut adalah; 1). Membuat status quo atas tanah seluas 2.117.500 M2. 2). Memberikan ijin kepada PT Buana Estate untuk melepaskan Hak Guna Usaha dihadapan pejabat yang berwenang seluas 1.797.414 M2 kepada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (Negara membeli tanah Negara dengan menggunakan uang Negara sehingga Negara dirugikan). Selain kepada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, pihak PT Buana Estate juga melepaskan tanah untuk menjadi Wisma Olah Raga Hambalang. Di lain sisi, sebagian eks HGU No. 149/Hambalang tersebut yaitu seluas 2.369.475 M2 telah diterbitkan sertifikat HGU No. 2967/Hambalang atas nama PT Buana Estate.
Dengan menggunakan bukti hak kepemilikan tanah sertifikat HGU No. 149/Hambalang yang sudah dinyatakan batal oleh PTUN, PT Buana Estate melakukan gugatan secara Perdata di Pengadilan Negeri Cibinong No. 146/Pdt.G/2009/PN.Cbn Jo. Putusan Kasasi No. 2980K/Pdt/2011 Jo. Putusan Peninjauan Kembali No. 588PK/Pdt/2013 dengan isi putusan, “Tanah seluas 2.117.500 M2 dimaksud merupakan tanah milik PT Buana Estate karena berada di dalam Sertifikat HGU No. 149/Hambalang”.
Adanya dua putusan hukum dengan satu objek perkara yaitu putusan hukum Tata Usaha Negara dan putusan hukum secara Perdata, dimana kedua putusan tersebut merupakan sama sama produk hukum tingkat Mahkamah Agung Republik Indonesia, tetapi pada gugatan secara Perdata PT Buana Estate melawan PT Genta Prana menggunakan alat bukti kepemilikan tanah dengan menggunakan Sertifikat HGU No. 149/Hambalang yang sudah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga ditemukan fakta kebenaran, bahwasanya tanah tersebut merupakan milik PT Buana Estate bilamana sertifikat HGU No. 149/Hambalang masih berlaku dan belum dibatalkan oleh pengadilan, dan sebaliknya bahwasanya tanah tersebut bukan lagi milik PT Buana Estate karena bukti hak kepemilikan PT Buana Estate yaitu sertifikat HGU No. 149/Hambalang sudah dibatalkan oleh pengadilan dan juga sudah dicatat pembatalannya di arsip warkah pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.
Putusan pengadilan secara perdata sudah dilaksanakan eksekusi oleh Pengadilan Negeri Cibinong, sedangkan putusan Tata Usaha Negara dimana pihak BPN sebagai pihak tergugat yang seharusnya melaksanakan isi putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, tetapi sampai saat ini pihak Kementerian ATR/BPN dan Jajarannya belum berkenan untuk melaksanakan isi putusan Tata Usaha Negara secara sempurna karena belum melaksanakan isi putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjaun kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009 yakni untuk memproses lebih lanjut penerbitan Hak Guna Bangunan atas nama PT. Genta Prana.
Disebabkan permohonan sertifikat PT Genta Prana kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN ditolak oleh Sofyan A. Djalil dengan terindikasi salahgunakan wewenang yaitu surat jawaban No. 551/39.3/II/2018 tanggal 19 Februari 2018, membuat Direktur Utama PT Genta Prana, Kombes Pol Pur. Drs. Dolok F Sirait melaporkan Sofyan A. Djalil dengan Laporan Polisi No. LB/B/1425/XI/2018/Bareskrim tanggal 5 Nopember 2018, dan sudah SP3 oleh Dirtipidum bareskrim Polri.
Secara lugas Laspen Sianturi menegaskan, adapun Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Sofyan A Djalil kita adukan kepada Kapolri dengan terindikasi terlibat mafia tanah disebabkan: 1), Karena Sofyan A Djalil menolak permohonan masyarakat/ PT Genta Prana untuk penerbitan sertifikat HGB, dimana permohonan tersebut adalah pelaksanaan putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu Putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjauan Kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009, 2), Karena Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Sofyan A Djalil diduga membangkang terhadap perintah Presiden RI. 3). Karena Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Sofyan A Djalil terindikasi memerintahkan Jajarannya Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, DR. H.S. Muhammad Ikhsan, SH, M.Si, MH ketika itu membuat surat kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Barat dengan surat No. 569/27.3-200/I/2017 dimana sifatnya rahasia dan isi suratnya; agar kakanwil menindaklanjuti permohonan PT Buana Estate, dan memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor untuk penelitian data fisik dan data yuridis bilamana permohonan PT Buana Estate sudah lengkap, perkara ini dinyatakan selesai dan ditutup dalam buku register perkara, dan bahwa Berita Acara Paparan ini untuk menjadi pedoman dan bersifat rahasia. Akibat dari surat DR. H.S. Muhammad Ikhsan, SH, M.Si, MH dimkasud membuat Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Barat menerbitkan Surat Keputusan perpanjangan Hak Guna Usaha atas nama PT Buana Estate. 4). Sehubungan dengan surat Ketua Pengadilan Negeri Cibinong atas nama Irfanudin, SH, MH No. W11.U20/6124/HK.02/XI/2020 tanggal 23 Nopember 2020 kepada Direktur Utama PT Genta Prana, dengan tembusan surat kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/ BPN RI, Kepala Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat dan Kepala Kantor Pertanahan kabupaten Bogor, dengan inti isi surat, yaitu: Bahwa putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tersebut selain telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ternyata juga bersifat COMDEMNATOIR sehingga oleh karenanya putusan tersebut dapat dilaksanakan (executable). Bahwa Putusan Pengadilan Negeri Cibinong tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, akan tetapi oleh karena amar putusan tersebut bersifat DECLARATOIR, maka terhadap putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan eksekusi secara riil berupa penyerahan dan pengosongan atas tanah objek sengketa. Walaupun Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN atas nama Sofyan A Djalil sudah mengetahui penjelasan dari Ketua Pengadilan Negeri Cibinong (surat tembusan disampaikan kepada Menteri ATR/BPN), akan tetapi sampai saat ini Menteri Agraria/ BPN dan Jajarannya belum juga berkenan untuk menjalankan isi putusan PTUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu untuk menerbitkan sertifikat HGB atas nama PT Genta Prana, tetapi Menteri diduga memerintahkan Dirjen VII Kementerian ATR/BPN atas nama RB Agus Widjayanto untuk menggantung persoalan dengan tujuan memelihara perkara pertanahan dengan alasan acara mediasi serta serta patut diduga suap dengan nilai ratusan miliar rupiah dari dari pihak PT Sentul City. 5). Karena Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Sofyan A Djalil disinyalir melanjutkan praktik mafia tanah ‘borok warisan’ dari mantan kepala BPNRI, Joyo Winoto, PhD. 6). Karena Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Sofyan A Djalil bersikukuh tidak menjalankan putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjauan Kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009, akibatnya pada tanggal 10 Juli 2020, pihak PT Sentul City bersama sama dengan pihak PT Buana Estate melakukan eksekusi tanah di lapangan dengan membongkar rumah dan bedeng proyek milik PT Genta Prana dengan terindikasi secara persekusi dan premanisme.
Adapun keberadaan PT Sentul City ikut campur untuk lakukan eksekusi tanah Hambalang Bogor diduga lakukan praktik mafia tanah yang sepantasnya untuk disikat bersih dari wilayah hukum NKRI.
Laspen juga memaparkan, seiring dengan hal tersebut, maka secara hormat diminta supaya Basariah Panjaitan kembali ke jalan yang benar maupun kebenaran dan mengundurkan diri dari jabatan Presiden Komisaris PT Sentul City dengan tetap memegang teguh prinsip kebenaran dan keadilan dengan baik dan benar agar kehidupan berbangsa dan bernegara di wilayah hukum Indonesia dapat berlangsung baik secara alamiah seperti air mengalir. Jangan karena nilai setitiik rusak susu sebelanga
Pasalnya. mantan wakil Ketua KPK, Basariah Panjaitan menduduki jabatan selaku Presiden Komisaris di PT Sentul City diduga menjadi “back up” ataupun sebagai deking PT Sentul City yang terindikasi lakukan praktek mafia tanah terkait tanah Hambalang Kabupaten Bogor
Aktivis Bela Negara ini juga memaparkan secara lugas, sesuai dengan hasil telusur kami bahwasanya rekam jejak perjalanan karir Basariah Panjaitan bisa dikatakan mantap dan sangat membanggakan serta mempunyai pengabdian yang sangat tinggi terhadap Negara. Irjen. Pol. (Purn.) Basaria Panjaitan, S.H., M.H. (lahir 20 Desember 1957) adalah perempuan pertama yang pernah terpilih menjadi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK). Dia terpilih dalam pemilihan yang dilakukan secara terbuka oleh Anggota Komisi III DPR RI pada bulan Desember 2015. Basaria Panjaitan juga tercatat sebagai perempuan pertama yang berpangkat Inspektur Jenderal (bintang dua) di dalam sejarah pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, melalui kenaikan pangkat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor: 81/ Polri RI/ Tahun 2015 dan Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/843/X/2015 tertanggal 20 Oktober 2015.
Basaria Panjaitan adalah Sarjana Hukum lulusan Sepamilsukwan Polri I Tahun Angkatan 1983/1984. Basaria masuk Sekolah Calon Perwira (Sepa) Polri di Sukabumi dan ditempa di sana. Lulus sebagai polwan berpangkat Ipda, Basaria langsung ditugaskan di Reserse Narkoba Polda Bali. Pendidikan pascasarjana yang ditempuhnya adalah Magister Hukum Ekonomi Universitas Indonesia
Basaria Panjaitan mengabdi dalam bidang reserse di Kepolisian Negara Republik Indonesia. Basaria pernah menjabat Kabag Serse Narkoba Polda NTB (1997 – 2000), Kabag Narkoba Polda Jabar (2000 – 2004), Dirserse Kriminal Polda Kepri (2006 – 2008). Jenderal bintang dua ini sebelumnya menjabat sebagai Kapusprovos Divpropam Polri (2009), Karo Bekum Delog Polri (2010), dan Widyaiswara Madya Sespim Polri Lemdikpol.
Basaria masuk Sekolah Calon Perwira (Sepa) Polri di Sukabumi dan ditempa di sana. Lulus sebagai polwan berpangkat Ipda, Basaria langsung ditugaskan di Reserse Narkoba Polda Bali.Dari sana, Basaria malang melintang di berbagai pos penugasan. Dia pernah menjadi Kepala Biro Logistik Polri, Kasatnarkoba di Polda NTT dan menjadi Direktur Reserse Kriminal Polda Kepulauan Riau. Dari Batam, Basaria ditarik ke Mabes Polri, menjadi penyidik utama Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim.
Dia pernah memeriksa mantan Kabareskrim, Komjen Susno Duadji, soal pelanggaran kode etik. Tahun 2010 hingga 2015, Basaria menjabat sebagai Widyaiswara Madya Sespim Polri.
Basaria Panjaitan tercatat sebagai perempuan pertama yang berpangkat Inspektur jenderal (bintang dua) di dalam sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia, melalui kenaikan pangkat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor: 81/ Polri RI/ Tahun 2015 dan Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/843/X/2015 tertanggal 20 Oktober 2015.
Laspen Sianturi mengatakan, Saya sebagai warga Negara Indonesia yang kebetulan merupakan keturunan berdarah Batak dan sama dengan beliau Basariah Panjaitan, bahwa saya merasa sangat bangga dan apresiasi atas segala prestasi dan kinerja dari Basariah Panjaitan.
Kemudian Basaria Panjaitan ditunjuk menjadi Presiden Komisaris PT Sentul City Tbk. Penunjukkan itu merupakan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang digelar Rabu, 14 Oktober 2020 lalu. Basaria menggantikan Tranggono Ting yang sebelumnya menjabat sebagai Presiden Komisaris. Adapun Presiden Direktur PT Sentul City dijabat oleh Tjetje Muljanto dimana selumnya dijabat oleh sweeteng.. Dengan Keberadaan Basariah Panjaitan duduk menjadi Presiden Komisaris membuat rasa hormat kami selaku Aktivis terhadap beliau menjadi seperti pudar ditelan badai, karena diduga menjadi back up PT Sentul City lakukan praktik mafia tanah, ujarnya menutup pembicaraan.
Ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, dan Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, Sofyan A Djalil dan RB Agus Wijayanto belum berkenan memberikan tanggapan ataupun komentar. Sedangkan saat Basariah Panjaitan dikonfirmasi juga belum berkenan untuk memberikan tanggapan.
(Arnie/Rodeo/ Endreuw Purba)