Pertanahan Dan Tata Ruang

Menteri ATR Sofyan A Djalil Terindikasi Melanggar Sumpah Jabatan Presiden Jokowi Diminta Segera Copot Sofyan Djalil Karena Diduga Terlibat Mafia Tanah

Jakarta, Kantor Berita RBN – Sesuai dengan sumpah jabatan sebagai Menteri yakni “Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta akan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya demi darma bakti saya kepada bangsa dan negara, bahwa saya dalam menjalankan tugas tugas dan jabatan akan menjunjung tinggi etika jabatan, bekerja dengan sebaik-baiknya, dengan penuh penuh rasa tanggung jawab”

Tetapi sumpah jabatan yang telah diucapkan oleh Sofyan A Djalil tersebut diduga tidak sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya terkait tanah Hambalang Kabupaten Bogor. Sofyan A Djalil selaku Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bersama Dijen RB Agus Wijayanto diduga sekongkol dan mufakat jahat dengan pelaku mafia tanah berinisial sweeteng sehingga putusan PTUN yang telah mrmiliki hukum tetap tidak dlaksanakan oleh Menteri ATR dan Jajajarannya disebabkan Menteri ATR Sofyan A Djalil diduga oknum pejabat Negara yang doyan terhadap apa yang namanya disebut duit sehingga agar putusan hukum No. 120/G/2006/PTUN-JKT jo. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 112/B/2007/PT.TUN.JKT jo. Kasasi Mahkamah Agung No. 482K/TUN/2007 jo. Peninjauan Kembali No. 72PK/TUN/2009 tersebut digantung ataupun tidak dilaksanakan oleh Kementerian ATR/BPBN sebagai pihak tergugat yang telah kalah di pengadilan, Sofyan A Djalil bersama kroninya disinyalir menerima uang suap ratusan miliar rupiah, akibatnya putusan Peninjauan Kembali No. 72PK/TUN/2009 dimaksud digantung dengan banyak alasan oleh Kementerian ATR/BPN dan jajarannya.

Untuk dapat terciptanya kebenaran dan keadilan di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan baik dan benar khususnya untuk bisa membasmi mafia tanah, maka secara hormat dengan ini kita meminta kepada Presiden Jokowi supaya segera mencopot Sofyan A Djalil sebagai Menteri ATR karena menjadi preseden buruk di negara ini bilamana seorang Menteri terindikasi bebal untuk menjalankan putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, serta sudah ada perintah Presiden bahwasanya putusan PTUN yang telah incracht wajib hukumnya untuk dilaksanakan demi terwujudnya kepastian hukum. Namun demikia, walaupun sudah ada perintah Presiden supaya Sofyan A Djalil melaksanakan putusan hukum yang telah incrscht tetrsebut, tetapi Sofyan A Djalil selaku Menteri Bersama kroninya diduga ‘pura pura bego” terhadap perintah Presiden dimaksud.

Hal itu disampaikan oleh Aktivis Bela Negara Laspen Sianturi kepada Kantor Berita RBN di Jakarta pada hari Senin (20/12/20210).

Laspen Sianturi yang juga merupakan Ketua Relawan Jokowi- Mar’uf dengan nama AB3NP ini memaparkan dengan lugas. Disebabkan sudah terlalu lama menunggu dan menantikan kebijakan kebenaran supaya Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (ATR/BPN RI), Sofyan A Djalil beserta jajarannya  berkenan untuk melaksanakan isi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah memiliki  kekuatan hukum tetap yaitu putusan PTUN Jakarta  No. 120/G/2006/PTUN-JKT jo. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 112/B/2007/PT.TUN.JKT jo. Kasasi Mahkamah Agung No. 482K/TUN/2007 jo. Peninjauan Kembali No. 72PK/TUN/2009 dimana setelah sekitar dua belas tahun putusannya telah inkracht,  dan juga sudah ada perimtah Presiden  supaya putusan dimaksud dilaksanakan tetapi sampai saat ini pihak BPN selaku pihak tergugat yang telah kalah di pengadilan belum juga bersedia untuk melaksanakan eksekusi terhadap putusan dimaksud seluruhnya, yakni untuk menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGU) atas nama PT Genta Prana dengan alasan yang  terkesan diciptakan dan dibuat buat, maka dengan sangat berat hati kita terpaksa membuat surat pengaduan surat kepada Kapolri  dengan surat pengaduan No. 1.078/LAPOR/POLRI/IV/2021 pada tanggal 6 April 2021 lalu dan Perihal surat: mohon perlindungan hukum kepada Yth. Bapak Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia dan/atau melaporkan indikasi praktek mafia tanah diduga dilakukan oleh Menteri ATR/BPN RI an. Sofyan A. Djalil bersama Dirjen VII an. Agus Widjayanto dengan turut serta PT Buana Estate dan PT Sentul City terkait tanah Hambalang Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat dengan harapan agar indikasi praktek mafia tersebut dapat dituntaskan serta dibersihkan sampai ke akar akarnya dengan benar.

Dalam isi surat pengaduan dimaksud, Aktivis Bela Negara   ini juga menyampaikan, Secara hormat dengan ini kami mohon perlindungan hukum kepada Yth.  Bapak Kepala Kepolisian Negara Indonesia dan/atau melaporkan indikasi praktek mafia tanah diduga dilakukan oleh Menteri ATR/BPN RI an. Sofyan A. Djalil bersama Dirjen VII an. Agus Widjayanto dengan PT Buana Estate dan PT Sentul City terkait tanah Hambalang Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, karena awal penerbitan sertifikat HGU No. 1/Hambalang atas nama PT Buana Estate dengan luas tanah sekitar 700 Hektar terindikasi praktek mafia tanah secara sistematis dan  berkesinambungan sampai saat ini, sehingga sudah selayaknya untuk dilakukan penyelidikan sampai penyidikan oleh Penyidik Mabes Polri agar kebenaran dan keadilan dapat tercipta secara baik dan benar, disebabkan terhadap keberadaan tanah dimaksud saat ini terjadi beberapa delik permasalahan, yaitu ditemukan fakta kebenaran bahwasanya alas hak kepemilikan awal tanah PT Buana Estate pada tahun 1977 lalu diduga cacat hukum dan terindikasi “rampok” tanah Negara dan tanah masyarakat, karena terkait asal usul tanah sertifikat HGU No. 1/Hambalang atas nama PT Buana Estate terindikasi terjadi perbuatan melawan hukum dengan penyerobotan tanah terhadap Perkebunan Ciderati/ Masyarakat karena adanya Hak Erparcht De te Buitenzorg Gevostigde NV Handle en Cultur Matschappy Tjidatatie seluas 813 Ha yakni hak Erparcht No. 79, No. 107, No. 108, No. 213, dan No. 220 yang berlaku sampai dengan tahun 1980.

Sebagian atas tanah dmaksud disewakan kepada masyarakat setempat dengan sistem plasma. Sesuai rekam jejaknya, sebelum Indonesia merdeka warga masyarakat Hambalang sudah menguasai fisik tanahnya untuk dimanfaatkan sebagai lahan bertani dan berkebun dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Tahun 1962, rakyat membayar pajak hasil bumi dan tahun 1964 masyarakat telah mendapatkan kartu kuning surat tanda kepemilikan sementara (landreform) dari Kadaster Bogor. Tetapi sertifikat HGU No. 1 atas nama PT. Buana Estate diterbitkan oleh Kantor  BPN pada tanggal 25 Maret 1977 dan berakhir tanggal 30 Desember 2002.

Penerbitan Sertifikat HGU No. 1 tersebut sama sekali tidak diketahui oleh masyarakat dan bahkan Aparat Desa sekalipun juga tidak ada yang mengetahui informasinya. Tidak pernah ada pemberitahuan secara terbuka kepada Kepala Desa dan/atau masyarakat. Adapun penerbitan HGU No. 1/Hambalang adalah atas dasar bantuan oknum KODAM V JAYA di masa lalu sehingga terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK1/HGU/DA/77 tanggal 25 Januari 1977 dengan memutuskan antara lain: Sebelum terbit Sertifikat HGU atas nama PT. Buana Estate seharusnya terlebih dahulu membayar ganti rugi kepada NV Handel en Cultur Matschappij Tjideratie sesuai Diktum Kedua dan juga harus terlebih dahulu membayar ganti rugi kepada masyarakat yang menguasai fisik tanah, sesuai Diktum Keempat surat keputusan tersebut. Adapun pembayaran ganti rugi  tersebut sama sekali tidak pernah dilaksanakan oleh PT Buana Estate, akan tetapi langsung saja sertifikat diterbitkan oleh BPN dengan sembarangan yaitu sertifikat HGU No. 1 atas nama PT. Buana Estate.

Pada penerbitan sertifikat HGU No. 1/Hambalang, PT. Buana Estate diduga menipu Negara dengan persekongkolan mufakat jahat bersama oknum karena  alas hak PT. Buana Estate yang dibuat di Kantor Notaris R. Soerojo Wongsowidjojo SH yakni Akta No. 39 tanggal 18 Juni 1976 silam, dimana pada halaman 2 akta dimaksud tertulis keterangan, “Bahwa berdasarkan surat dari Kepala Kantor Agraria dan Pengawasan Agraria Daerah Bogor (pada waktu itu) tertanggal 25 Nopember 1967 No. 1364/Kapad/P/1967, surat mana aslinya tidak diperlihatkan kepada saya Notaris”.

Akses Baca Berita Terkait “Indikasi Persekongkolan Djoyo Winoto, Iwan Nurzirwan & PT Buana Estate Dilaporkan Ke KPK”

Sebelum sertifikat No. 1/Hambalang atas nama PT. Buana Estate tersebut habis masa berlakunya, kemudian PT. Buana Estate mengajukan permohonan perpanjangan HGU kepada BPN dengan surat No. 01/BE/III/2000/G tanggal 22 Maret 2000. Atas dasar pasal 10 ayat (1) PP No. 40 tahun 1996 permohonan tersebut ditolak oleh BPN sesuai dengan surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor No. 250-46 tanggal 23 Desember 2002, bahwasanya menyatakan tanah tersebut kembali ke Negara di bawah wewenang Bupati Bogor, terhitung sejak 31 Desember 2002 karena tidak sesuai dengan pasal 9 ayat (1) PP No. 40 tahun 1996.

Setelah permohonan perpanjangan HGU No. 1 atas nama PT. Buana Estate ditolak, selanjutnya PT. Buana Estate memohon rekomendasi No. 011/Komlh/BE/I/2003 tanggal 28 Januari 2003 kepada Bupati Bogor untuk mendapatkan persetujuan perpanjangan HGU No. 1 dimaksud. Bahwa atas dasar kesepakatan dan persetujuan bersama antara Ketua DPRD Bogor, para Pejabat PEMDA Bogor, Camat Citeureup, para Kepala Desa setempat dengan PT. Buana Estate, maka terbitlah surat rekomendasi Bupati Bogor No. 593.4/135. Pem.Um tanggal 13 Juli 2004. Yaitu menyetujui diperpanjang SHGU No. 1 hanya seluas 450,055 Ha atas nama PT. Buana Estate dan sisanya 250 Ha diperuntukkan untuk kepentingan Pemerintah Desa dan prioritas masyarakat.

Kemudian putusan Bupati tersebut ditindaklanjuti oleh PT. Buana Estate pada tanggal 24 Agustus 2004, dengan membayar pemasukan ke Kas Negara sebesar Rp. 140.943.000 (seratus empat puluh juta sembilan ratus empat puluh tiga ribu rupiah) untuk seluas 455,05 Ha dan bukan untuk tanah seluas 6.578.315 M2.

Tetapi tanpa memperhatikan surat Bupati Bogor No. 593.4/135. Pem.Um tanggal 13 Juli 2004 dimaksud bahwasanya tanah tersebut kembali ke Negara di bawah wewenang Bupati Bogor, Kepala BPN RI dimana ketika itu dijabat oleh Joyo Winoto, PhD menerbitkan Surat Keputusan No. 9/HGU/BPN/2006 yaitu pemberian perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha kepada PT Buana Estate seluas 6.578.315 M2 selama 25 tahun. Dengan dasar Surat Keputusan tersebut pada tanggal 15 Juni 2006 Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bobor menerbitkan 6 (enam) sertifikat HGU dan satu sertifikat diantaranya yaitu sertifikat HGU No. 149/Hambalang di dalamnya termasuk tanah masyarakat seluas 211 hektar, dan akibatnya terjadi gugatan PTUN Jakarta, dimana pihak penggugat masyarakat Bogor/PT Genta Prana dan pihak tergugat adalah Kepala BPN RI dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.

Adapun sertifikat HGU No. 1/Hambalang terbit atas nama PT Buana Estate pada tahun 1977 dan berakhir haknya pada tahun 2002, dan kemudian diperpanjang pada tahun 2006. Ada rentang waktu empat tahun lamanya dari masa berakhir haknya pada tahun 2002 sampai diperpanjang pada tahun 2006. Dalam hal ini diduga terjadi praktek mafia tanah oleh BPN di masa lalu karena perpanjangan hak PT Buana Estate seharusnya tidak boleh diterbitkan BPN perpanjangan haknya tetapi melainkan pembaharuan hak, diduga terjadi borok warisan darimasa lalu sampai saat ini.

PT Genta Prana mengajukan gugatan ke PTUN dan dimenangkan oleh PT Genta Prana dengan Putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu Putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjaun Kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009. Adapun isi putusan dimaksud adalah, menyatakan batal Surat Keputusan Tergugat I/Terbanding Nomor: 9/HGU/BPN/2006 tanggal 01 Juni 2006 tentang pemberian perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha atas tanah terletak di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, atas nama PT. Buana Estate, sebatas dan seluas 6.578.315 M2. Memerintahkan kepada Tergugat I dan Tergugat II/para Terbanding untuk mencabut keputusannya masing-masing sebagaimana tersebut dalam amar putusan di atas dan menerbitkan keputusan baru tentang perpanjangan Hak Guna Usaha atas nama PT. Buana Estate/Tergugat II Intervensi/Terbanding dengan mengeluarkan tanah yang dikuasai oleh para Penggugat/para Pembanding seluas 2.117.500 M2. Memerintahkan kepada Tergugat I dan Tergugat II/para Terbanding untuk memproses lebih lanjut penerbitan Hak Guna Bangunan atas nama PT. Genta Prana (para Penggugat/para Pembanding) atas tanah seluas 2.117.500 M2 sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku.

Untuk menjalankan isi putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu Putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjauan Kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009, Joyo Winoto, PhD selaku Kepala BPN RI/ Pihak tergugat ketika itu, membuat surat keputusan pembatalan No.1/Pbt/BPNRI/2011 tanggal 15 April 2011, dimana inti dari pembatalan tersebut adalah; A. Membuat status quo atas tanah seluas 2.117.500 M2. B. Memberikan ijin kepada PT Buana Estate untuk melepaskan Hak Guna Usaha dihadapan pejabat yang berwenang seluas 1.797.414 M2 kepada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (Diduga Negara membeli tanah Negara dengan menggunakan uang Negara sehingga Negara dirugikan). Selain kepada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, pihak PT Buana Estate juga melepaskan tanah untuk menjadi Wisma Olah Raga Hambalang. Di lain sisi, sebagian eks HGU No. 149/Hambalang tersebut yaitu seluas 2.369.475 M2 telah diterbitkan sertifikat HGU No. 2967/Hambalang atas nama PT Buana Estate.

Dengan menggunakan bukti hak kepemilikan tanah sertifikat HGU No. 149/Hambalang yang sudah dinyatakan batal oleh PTUN, PT Buana Estate melakukan gugatan secara Perdata di Pengadilan Negeri Cibinong No. 146/Pdt.G/2009/PN.Cbn Jo. Putusan Kasasi No. 2980K/Pdt/2011 Jo. Putusan Peninjauan Kembali No. 588PK/Pdt/2013 dengan isi putusan, “Tanah seluas 2.117.500 M2 dimaksud merupakan tanah milik PT Buana Estate karena berada di dalam Sertifikat HGU No. 149/Hambalang”.

Adanya dua putusan hukum dengan satu objek perkara yaitu putusan hukum Tata Usaha Negara dan putusan hukum secara Perdata, dimana kedua putusan tersebut merupakan sama sama produk hukum tingkat Mahkamah Agung Republik Indonesia, tetapi pada gugatan secara Perdata PT Buana Estate melawan PT Genta Prana menggunakan alat bukti kepemilikan tanah dengan menggunakan Sertifikat HGU No. 149/Hambalang yang sudah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga ditemukan fakta kebenaran, bahwasanya tanah tersebut merupakan milik PT Buana Estate bilamana sertifikat HGU No. 149/Hambalang masih berlaku dan belum dibatalkan oleh pengadilan, dan sebaliknya bahwasanya tanah tersebut bukan lagi milik PT Buana Estate karena bukti hak kepemilikan PT Buana Estate yaitu sertifikat HGU No. 149/Hambalang sudah dibatalkan oleh pengadilan dan juga sudah dicatat pembatalannya di arsip warkah pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.

Putusan pengadilan secara perdata sudah dilaksanakan eksekusi oleh Pengadilan Negeri Cibinong, sedangkan putusan Tata Usaha Negara dimana pihak BPN sebagai pihak tergugat yang seharusnya melaksanakan isi putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, tetapi sampai saat ini belum juga berkenan untuk melaksanakan isi putusan Tata Usaha Negara secara sempurna karena belum melaksanakan isi putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjaun kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009 yakni untuk memproses lebih lanjut penerbitan Hak Guna Bangunan atas nama PT. Genta Prana.

Kemudian, sehubungan dengan surat dari DR. H.S. Muhammad Ikhsan, SH, M.Si, MH selaku Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah ketika itu kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Barat dengan surat No. 569/27.3-200/I/2017 dimana sifatnya rahasia, dan isi suratnya; menindaklanjuti permohonan PT Buana Estate, memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor untuk penelitian data fisik dan data yuridis bilamana permohonan PT Buana Estate sudah lengkap, perkara ini dinyatakan selesai dan ditutup dalam buku register perkara, dan bahwa Berita Acara Paparan ini  untuk menjadi pedoman dan bersifat rahasia. Akibat dari surat DR. H.S. Muhammad Ikhsan, SH, M.Si, MH dimaksud membuat Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Barat menerbitkan Surat Keputusan perpanjangan Hak Guna Usaha atas nama PT Buana Estate. DR. H.S. Muhammad Ikhsan, SH, M.Si, MH diduga salahgunakan wewenang dalam membuat surat kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Barat. Adapun tembusan surat ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/ BPN RI, Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor. Diduga surat No. 569/27.3-200/I/2017 dimaksud merupakan perintah dan sepengetahuan dari Menteri ATR/BPN atas nama Sofyan A. Djalil. Dalam hal ini Sofyan A. Djalil terindikasi praktek selaku “mbah mafia tanah”.

Disebabkan permohonan sertifikat PT Genta Prana kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN ditolak oleh Bapak Sofyan A. Djalil dengan terindikasi salahgunakan wewenang serta terindikasi terlibat praktek mafia tanah yaitu terkait surat jawaban No. 551/39.3/II/2018 tanggal 19 Februari 2018, membuat Direktur Utama PT Genta Prana, Kombes Pol Pur. Drs. Dolok F Sirait melaporkan Bapak Sofyan A. Djalil dengan Laporan Polisi No. LB/B/1425/XI/2018/Bareskrim tanggal 5 Nopember 2018, dan juga melaporkan NURANI PUJIASTUTI PROBOSUTEDJO dan KWEE CAHYADI KUMALA dengan Laporan Polisi No.: LP/B/0757/VIII/ 2019/Bareskrim, tanggal 28 Agustus 2019, dimana Drs. DOLOK F SIRAIT selaku pelapor/ saksi korban dalam perkara dugaan tindak pidana Pemalsuan surat dan atau Menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam akta autentik dan atau Penggelapan hak atas barang tidak bergerak dan atau Memasuki pekarangan tanpa seijin pemilik yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP dan atau Pasal 266 KUHP dan atau Pasal 385 KUHP dan atau Pasal 167 KUHP yang diduga dilakukan oleh NURANI PUJIASTUTI PROBOSUTEDJO (Direktur Utama PT Buana Estate) dan KWEE CAHYADI KUMALA (Direktur Utama PT Sentul City ketika itu).

Adapun Laporan Polisi No. LB/B/1425/XI/2018/Bareskrim tanggal 5 Nopember 2018 tersebut dengan terlapor Bapak Sofyan A. Djalil sudah diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Penyidik Bareskrim Mabes Polri sesuai dengan surat Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, Brigadir Jenderal Ferdy Sambo, SH, SIK, MH No. B/671/VI/2020/Dittipidum kepada Jaksa Agung Republik Indonesia Cq. Jampidum tanggal 30 Juni 2020. Sedangkan  laporan Polisi No.: LP/B/0757/VIII/2019/Bareskrim, tanggal 28 Agustus 2019 dengan terlapor NURANI PUJIASTUTI PROBOSUTEDJO (Direktur Utama PT Buana Estate) dan KWEE CAHYADI KUMALA (Direktur Utama PT Sentul City) sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan dengan terindikasi dipetieskan.

Kemudian pada tanggal 10 Juli 2020, pihak PT Sentul City bersama sama dengan pihak PT Buana Estate melakukan eksekusi tanah di lapangan dengan membongkar rumah dan bedeng proyek milik PT Genta Prana dengan terindikasi secara persekusi dan premanisme.

Adanya indikasi keterlibatan Menteri ATR/BPN selaju mafia pertanahan adalah Sehubungan dengan surat Ketua Pengadilan Negeri Cibinong atas nama Irfanudin, SH, MH No. W11.U20/6124/HK.02/XI/2020 tanggal 23 Nopember 2020 (foto kopi surat terlampir) kepada Direktur Utama PT Genta Prana, dengan tembusan surat Menteri Agraria dan Tata Ruang/ BPN RI, Kepala Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat dan Kepala Kantor Pertanahan kabupaten Bogor, dengan inti isi surat, yaitu: Bahwa putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tersebut selain telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ternyata juga bersifat COMDEMNATOIR sehingga oleh karenanya putusan tersebut dapat dilaksanakan (executable). Bahwa Putusan Pengadilan Negeri Cibinong tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, akan tetapi oleh karena amar putusan tersebut bersifat DECLARATOIR, maka terhadap putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan eksekusi secara riil berupa penyerahan dan pengosongan atas tanah objek sengketa.

Walaupun Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN atas nama Sofyan A Djalil sudah mengetahui penjelasan dari Ketua Pengadilan Negeri Cibinong (surat tembusan disampaikan kepada Menteri ATR/BPN), akan tetapi sampai saat ini Menteri Agraria/ BPN dan Jajarannya belum juga berkenan untuk menjalankan isi putusan PTUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu untuk menerbitkan sertifikat HGB atas nama PT Genta Prana, tetapi Menteri diduga memerintahkan Dirjen VII Kementerian ATR/BPN atas nama Agus Widjayanto untuk menggantung persoalan dengan tujuan memelihara perkara pertanahan dengan alasan acara mediasi.

Adapun Inti dari isi surat pengaduan tersebut adalah sehubungan dengan materi melaporkan indikasi praktek mafia tanah untuk dilakukan penyelidikan sampai penyidikan oleh Penyidik Mabes Polri, dengan terlapor sebagai berikut:
Menteri Agraria dan Tata Ruang/ BPN an. Sofyan A. Djalil diduga selaku “mbah mafia tanah”, Dirjen VII Kementerian ATR/BPN RI an. Agus Widjayanto diduga turut serta lakukan praktek mafia tanah dengan memelihara perkara pertanahan, PT Buana Estate diduga pelaku mafia tanah secara sitematis dan berkesinambungan dengan terindikasi rampok tanah Negara dan tanah masyarakat, sehingga atas sebagian tanah Negara dimaksud disnyalir telah terjadi bahwasanya “Negara membeli tanah Negara dengan menggunakan uang Negara sehingga Negara dirugikan miliaran rupiah dan PT Buana Estate diuntungkan secara praktek mafia tanah”, PT Sentul City diduga selaku perpanjangan tangan dari PT Buana Estate untuk melakukan eksekusi tanah dengan terindikasi secara persekusi dan premanisme.

Ketika surat pengaduan tersebut ditindak lanjuti kepada Mabes Polri maka rekam jejak positif surat pengaduan adalah, bahwasanya Kapolri sudah lakukan disposisi surat pengaduan kepada Kabareskrim pada tanggal 19 April 2021 dan kemudian turun disposisi lagi kepada Direktur Tindak Pidana Umum pada tanggal 17 Nopember 2021 baru baru ini dan saat ini sedang ditangani oleh Subdit 2 Dirtipidum Bareskrim Polri. Dalam hal ini kepiawaian Penyidik Mabes Polri sangat diharapkan masyarakat karena untuk melaksanakan penyelidikan maupun penyidikan kepada Menteri ATR/BPN .dan Jajarannya karena diduga terlibat mafia tanaha merupakan tugas yang susash susah gampang, tandasnya.

Laspen Sianturi juga mengatakan, sehubungan dengan surat dari Ketua Pengadilan Negeri Cibinong atas nama Irfanudin, SH, MH dengan surat No. W11.U20/6124/HK.02/XI/2020 tanggal 23 Nopember 2020 kepada Direktur Utama PT Genta Prana, dengan tembusan surat kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/ BPN RI, Kepala Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, dengan inti isi surat, yaitu: Bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut selain telah mempunyai kekuatan hukum tetap ternyata juga bersifat COMDEMNATOIR sehingga oleh karenanya putusan tersebut dapat dilaksanakan (executable). Sedangkan Putusan Perdata Pengadilan Negeri Cibinong tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, juga akan tetapi oleh karena amar putusannya bersifat DECLARATOIR, maka terhadap putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan eksekusi secara riil berupa penyerahan dan pengosongan atas tanah objek sengketa. Mana mungkin seorang Menteri ATR/BPN, Sofyan A Djalil yang jelas jelas memiliki gelar sangat banyak, tidak memahami apa artinya Comdemnatoir dan perbedaannya Declaratoir, tandasnya.

Namun demikian, walaupun Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN atas nama Sofyan A Djalil sudah mengetahui penjelasan dari Ketua Pengadilan Negeri Cibinong (surat tembusan disampaikan kepada Menteri ATR/BPN), akan tetapi sampai saat ini Menteri Agraria/ BPN dan Jajarannya belum juga berkenan untuk menjalankan isi putusan PTUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu untuk menerbitkan sertifikat HGB atas nama PT Genta Prana, tetapi Menteri diduga memerintahkan Dirjen VII Kementerian ATR/BPN atas nama RB Agus Widjayanto untuk menggantung persoalan dengan tujuan memelihara perkara pertanahan karena adanya indikasi suap dengan alasan acara mediasi serta terindikasi terima uang suap dengan nilai ratusan miliar rupiah, ujarnya.

Setelah acara mediasi selesai, beberapa minggu kemudian dilakukan pertemuan untuk perdamaian antara pihak PT Sentul City dan PT Genta Prana yang diwakili oleh Dolok F Sirait. Dalam pertemuan tersebut terjadi hal aneh tapi nyata, karena Sweeteng bersedia berdamai dengan pihak PT Genta Prana yaitu hanya memberikan tanah seluas 10 (sepuluh) hektar dari tanah seluas 211 hektar dimaksud disebabkan pihak PT Sentul City sudah habis banyak duitnya untuk memberikan uang siram (diduga uang suap) sebanyak Rp. 200 (dua ratus) miliar rupiah kepada BPN dan kepolisian. Dalam hal ini diduga Menteri ATR/BPN Sofyan A Djalil bersama kroninya Dirjen VII RB Agus Wijayanto dan Direktur Perkara an. Ketut secara tiga serangkai selaku aktor intelektual diduga pelaku praktek mafia tanah untuk memelihara perkara pertanahan di Kementerian ATR/BPN yakni untuk tidak menjalankan isi putusan PTUN yang telah incracht yaitu tidak menerbitkan sertifikat HGB atas nama PT Genta Prana dengan diduga menerima uang suap ratusan miliar rupiah. Sesuai hasil investigasi kami  di lapangan maupun terhadap terhadap Narasumber, mengatakan,  Sebenarnya tidak ada urusan PT Genta Prana dengan PT Sentul City karena pihak yang berperkara secara perdata adalah PT Buana Estate (perusahaan milik keluarga Soeharto) dengan PT Genta Prana.

Narasumber  berinisial DFS, juga menambahkan, setelah Menteri ATR/BPN dilaporkan kepada Bareskrim Polri dengan pasal salahgunakan wewenang, kemudian Sofyan A Djalil mengadu kepada Presiden Jokowi bahwa Polisi selaku Penyidik mencari cari kesalahan dirinya dan melakukan BAP, dimana menurut Sofyan A Djalil tidak ada kesalahannya. Dalam hal ini Sofyan A Djalil diduga munafik serta membohongi Presiden, dan akhirnya Presiden Jokowi terindikasi memberikan perintah kepada Kapolri yang saat itu dijabat oleh Jenderal Polisi Idam Aziz, supaya Idam Aziz menyelesaikan permasalahan dimaksud secara baik dan benar.

Tetapi penyelesaian yang dilaksanakan oleh Idam Aziz sebagai Kapolri disinyalir melenceng dari kebenaran maupun tidak sesuai dengan perintah Presiden Jokowi, karena Idam Aziz diduga terima uang suap ratusan miliar rupiah sehingga memerintahkan Jajaran Bareskrim Polri untuk menerbitkan SP3 atas laporan polisi dimana terlapornya adalah Sofyan A Djalil dengan terlebih dahulu memindahkan laporan polisi dimaksud dari Dirtipideksus kepada Dirtipidum, baru kemudian diterbitkan SP3, serunya.

Sesuai dengan surat pemberitahuan terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan oleh Penyidik Bareskrim Polri,  Direktur Tindak Pidana Umum, kala itu oleh Brigadir Jenderal Polisi Ferdy Sambo, SH, SIK, MH yaitu surat No. B/671/VI/2020/Dittipidum kepada Jaksa Agung Republik Indonesia Cq. Jampidum pada  tanggal 30 Juni 2020., tertulis dengan jelas, yakni pada poin 1. Rujukan: a.Laporan Polisi  No. LP/B/1429/XI/2018/Bareskrim tanggal 5 Nopember 2018 atas nama Drs. Dolok F Sirait. b.Surat Perintah Penyidikan Lanjutan No. SP.Sidik/550.2a/V/2020/Dittipidum tanggal 22 Mei 2020. c.Surat Perintah Penghentian Penyidikan No. SPPP/97.4b/VI/2020/Dittipidum tanggal 30 Juni 2020. d.Surat Ketetapan Dirtipidum Bareskrim Polri No. S.Tap/97.4c/VI/2020/Dittipidum tanggal 30 Juni 2020 tentang penghentian penyidikan.

Adapun pada poin 2 tersurat, Sehubungan dengan rujukan tersebut di atas, disampaikan kepada Jampidum bahwa terhadap penyidikan dugaan tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan dan atau tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP  dan atau Pasal 3  Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang No. 31 Tahun 1999, yang diduga dilakukan oleh terlapor atas nama Dr. Sofyan A Djalil, SH, MH, M.ALD telah dihentikan penyidikannya dikarenakan bukan merupakan tindak pidana.

Pada poin 3 surat dimaksud. tersurat, “Demikian untuk menjadi maklum” dan tembusan surat disampaikan kepada: Kabareskrim Polri, Karowassidik Bareskrim Polri, Drs. Dolok F Sirait (Pelapor) dan Dr. Sofyan A Djalil, SH, MH, M.ALD (terlapor).

Disebabkan Idam Aziz ketika menjabat Kapolri terindikasi memplesetkan perintah Presiden Jokowi, maka demi untuk dapat terwujudnya kebenaran dan keadilan dengan baik,  Kapolri yang saat ini dijabat oleh Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si diminta dengan hormat agar lakukan teliti, telaah dan pengkajian atas dugaan borok warisan peninggalan Idam Aziz, yakni supaya membuat kebijakan yang manusiawi terhadap keberadaan mantan Direktur TIpideksus, Daniel Tahi Monang Silitonga karena bisa dikatakan  menjadi apes karirnya serta menjadi korban atas penjoliman sebagai akibat sebab dari indikasi praktik suap ratusan miliar rupiah oleh Idam Aziz ketika menjabat Kapolri, karena ditemukan fakta kebenaran yakni Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus, Daniel Tahi Monang Silitonga ketika itu diperksa oleh Propam Mabes Polri atas laporan  yang mengaku ngaku dari unsur masyarakat, tapi ternyata diduga pelapornya adalah RB Agus Wijayanto yang notabene menjabat Dirjen VII di Kementerian ATR/BPN. Akibat dari Tahi Silitonga dilaporkan ke Propam Mabes Polri, Tahi Silitonga dicopot dari Dirtipideksus, padahal Jajaran Tim Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipdeksus) melaksakan BAB terhadap Sofyan A Djalil adalah melaksanakan tugas kebenaran karena adanya laporan polisi maka selaku Penyidik dalam memeriksa Menteri Sofyan A Djalil bersama kroninya RB Agus Wijayanto selaku terlapor karena pejabat terindikasi salahgunakan wewenang. Akibat dari pengaduan disinyalir  oleh RB Agus Wijayanto itu, Tahi Silitonga dicopot dari jabatannya sebagai Direktur Tindak Pidana Ekonomi khusus pada tanggal 1 Mei 2020 lalu dan dimutasi menjadi Widyaiswara Kepolisian Utama Tingkat I Sespim Lemdiklat Polri. Hal ini terjadi sebagai dampak dari diduga laporan polisi dengan terlapor Sofyan A Djalil yang dipindahkan dari Direktorat Tipideksus ke Direktorat Tindak Pidana Umum (Tipidum), baru kemudian diterbitkan SP3  oleh Direktur Tipidum pada tanggal 30 Juni  2020.

“Masa seorang Perwira Tinggi Kepolisian yang melaksanakan tugas kebenaran karena memeriksa terlapor sesuai dengan SOP maupun Juklak dan Juknis Kepolisian dapat dikorbankan dan dicopot dari jabatannya hanya karena Idam Aziz terindikasi terima uang suap ratusan miliar rupiah. Kami yakin dan percaya bahwasanya Kapolri Listyo dapat membuat keputusan terbaik terkait keberadaan Tahi Silitonga karena Pak Kapolri adalah pejabat yang memegang teguh prinsip kebenaran serta merupakan Kapolri kiriman Tuhan Yang Maha Kuasa kepada rakyat Indonesia” tandasnya dengan semangat tinggi.

Ketika hal tersebut pernah dikonfirmasi pada bulan Juli tahun 2020 lalu, saat Idam Aziz masih menjabat Kapolri, sangat sulit untuk menemui Kapolri saat itu, dan ketika dikonfirmasi kepada Penyidik Subdit II Dittipidum Bareskrim Polri, di depan Penyidik AKBP Wagino, SH dan AKBP Kristinatara, SH, MH. Kasubditnya yang tidak berkenan namanya disebut dalam berita mengatakan, bahwa indikasi suap tersebut penyidiknya tidak terlibat, karena selaku Penyidik mereka hanya memeriksa terlapor yaitu Sofyan A Djalil dan tidak kenal dengan pihak PT Buana Estate, Sweeteng dan Septitank, ujarnya ketika itu.

Saat diminta konfirmasi kembali  kepada AKBP Wagino, SH dan AKBP Kristinatara, SH, MH, baik Wagino maupun Kristinatara belum juga bersedia memberikan tanggapan atau komentarnya.

Di lain sisi, Dolok Sirait juga memaparkan isi hatinya dengan lugas bahwasanya dalam isi suratnya No. 10/GP/Tnh/X/2021 dengan perihal surat  “BPN Berkuasa dan Tanggung Jawab” kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang, Presiden Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwasanya, Ketua PTUN Jakarta dan Bapak Presiden RI, telah memerintahkan pihak BPN untuk mengeksekusi putusan PTUN Jakarta, antara lain menerbitkan Sertifikat HGB atas nama PT. Genta Prana atas tanah 2.117.500 M2 lokasi Desa Hambalang Kecamatan Citereup Kabupaten Bogor. Akan tetapi sejak tahun 2008 sampai dengan saat ini suah memasuki akhir tahun 2021 tidak juga dilaksanakan oleh pihak BPN.

Putusan perdata telah dieksekusi secara riil karena bersifat Declaratoir, sesuai Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Cibinong No. 07/Pen-Pdt/Eks/2013/PN.Cbn tanggal 28 Maret 2013, dan menyatakan bahwa tanah 2.117.500  M2 tidak berpindah tetapi masih tetap atas nama PT. Genta Prana. Dengan demikian PT. Genta Prana tidak kalah perdata, imbuhnya.

Anehnya lagi BPN menciptakan Berita Acara Paparan Rahasia No.06/BAHGK/DJ-VII/2017 tanggal 10 Januari 2017. Kemudian BPN juga membuat Surat No. 569/27-3-800/I/2017 tanggal 31 Januari 2017 bersifat rahasia kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Barat untuk menerbitkan Surat Keputusan No. 02/HGU/BPN-32/VII/2018 tanggal 30 Juli 2018 tentang penerbitan Sertifikat HGU atas nama PT. Buana Estate secara rahasia. Kemudian Menteri membuat surat kepada PT.Genta Prana tentang penerbitan Sertifikat HGB atas nama PT. Genta Prana atas tanah 2.117.500 M2 tidak dapat dipertimbangkan, tandas Sirait.

PT. Genta Prana akhirnya melaporkan indikasi pidana Menteri ke Bareskrim Polri dan sudah di SP3-kan, serta juga menggugat secara perdata Menteri ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tetapi sudah dicabut dengan janji segera akan diadakan mediasi. Kemudian, Menteri ATR memberikan informasi kepada pembantu Presiden RI, menyatakan PT. Genta Prana telah kalah secara perdata melawan PT. Buana Estate adalah “bohong”. Kemudian menjelaskan tidak akan terbit sertifikat tanah 211,75 Ha apabila belum ada perdamaian PT. Genta Prana dengan PT. Buana Estate. Terpaksa damai walaupun sangat tidak adil.

Pada tanggal 28 Juli 2020 Switeng atas nama PT. Buana Estate mengundang PT. Genta Prana untuk mediasi, 10 Ha (sepuluh hektar) untuk PT. Genta Prana dan 201,75 Ha untuk PT. Buana Estate. Dengan alasan switeng telah mengeluarkan dana sebesar Rp. 200.000.000.000 (Dua ratus milyar rupiah) untuk urusan sertifikat PT Buana Estate ujarnya dengan lugas.

Sebulan kemudian, terjadi mediasi lagi dan memutuskan, PT. Buana Estate bersedia menambah Rp. 15.000.000.000 (Lima belas milyar rupiah) dengan dipotong Rp. 5.000.000.000 (Lima milyar rupiah) untuk tim moderator. Kemudian terjadi mediasi lagi tanggal 10 Desember 2020 di Kantor BPN RI Jl. Sisingamangaraja, dimana PT. Genta Prana memohon supaya tanah 211,75 Ha dibagi 2 (dua) rata sehingga masing masing separoh, tandasnya.

Pada tanggal 7 September 2021, PT. Genta Prana diundang ke Lapangan Golf Sentul City untuk tanda tangan surat perdamaian PT. Genta Prana dengan PT. Buana Estate. Bahwa PT. Genta Prana sangat setuju dan tanda tangan dengan disaksikan oleh Dirjen VII BPN RI, RB. Agus Widjayanto, SH, M.Hum. PT. Genta Prana mendapatkan uang perdamaian hanya senilai ±1% (satu persen) dari harga tanah 211,75 Ha apabila sudah di Sertifikat.

PT. Genta Prana setuju apabila BPN menerbitkan Sertifikat tanah 211,75 Ha atas nama siapa saja, termasuk atas nama PT. Buana Estate dengan alasan: A). BPN tidak bersedia menerbitkan Sertifikat atas nama PT. Genta Prana sejak tahun 2008 sampai dengan saat ini tahun 2021. Dan bangunan PT. Genta Prana di lokasi tanah sudah dibuldozer oleh PT. Buana Estate. B). BPN berkuasa dan bertanggung jawab menerbitkan Sertifikat siapa saja antara lain sesuai pasal 116 ayat (4) UU No. 5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 51 tahun 2009, tentang upaya paksa membayar sejumlah uang.

Dolok Sirait juga menambahkan, bahwa PT. Genta Prana berdamai hanya dengan PT. Buana Estate. Bukan damai dengan BPN selaku pencipta dan pemelihara perkara tanah terkait 211,75 Ha. Demikian untuk menjadikan maklum dan atas perhatian dan kebijaksanaan Menteri diucapkan banyak terima kasih, demikian isi suratnya.

Adapun tembusan tersebut disampaikan kepada: Presiden RI, Ketua Mahkamah Agung, Ketua DPR RI, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Menteri Negara Pendayagunaan Apratur Negara dan Reformasi Birokrasi RI, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI, Menteri Sekretaris Negara RI, Kepala Staf Kepresidenan RI, Sekretaris Kabinet RI, Menteri Agama RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Menteri Sosial RI, Kapolri, Kabareskrim Polri, Jaksa Agung RI, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI, Ketua Komisi II DPR RI, Ketua KPK, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan RI, dan Kapolres Bogor.

Saat dikonfirmasi kepada Direktur Utama PT Genta Prana, Kombes Pol Purn, Dolok F Sirait, mengapa sangat banyak tembusan surat yang dikirimkan, maka Dolok Sirait menjawab secara lugas bahwasanya, “Tembusan disampaikan dengan permohonan supaya memberikan saran kepada Bapak Presiden RI dan menghimbau DR. Sofyan A. Djalil, SH, MA, M. ALD agar tidak menyalahgunakan kekuasaan/wewenang”katanya.

Ketika Kantor Berita RBN mempertanyakan kepada  Dolok Sirait, mengapa Dolok Sirait mau berdamai dengan PT Buana Estate padahal nilai materi perdamaian tidak sebanding dengan nilai tanah seluas 211 hektar,  karena uang perdamaian hanya sekitar satu persen dari nilai tanah, maka Dirut PT Genta Prana tersebut menjelaskan, pertama saya menerima uang damai adalah karena PT Buana Estate telah membongkar bangunan PT. Genta Prana di lokasi tanah tersebut, sehingga saya anggap itu adalah uang damai untuk ganti rugi atas bangunan kami.  Alasan kedua adalah bahwasanya saya berdamai dengan PT Buana Estate dan bukan dengan Menteri ATR-BPN. Dalam hal ini yang diduga bersalah serta membuat permasalahan menjadi semakin kusut adalah karena Menteri ATR/BPN Bersama Jajarannya tidak bersedia untuk melaksanakan isi putusan hukum yang telah inkracht yakni menerbitkan sertifikat HGB atas nama PT Genta Prana. Apabila Sofyan A Djalil selaku Menteri ATR berkenan untuk melaksanakan isi putusan PTUN yang telah inkracht dimaksud, mungkin tidak seperti ini persoalannya, ujarnya menutup pembicaraan.

Untuk menutup pembicaraan terhadap Kantor Berita RBN, Laspen Sianturi juga mengatakan,sesuai dengan rekam jejak yang dapat kami himpun, bahwasanya Kepala BPN RI yang dijabat oleh Joyo Winoto , PhD ketika itu terindikasi salahgunakan wewenang menerbitkan Surat Keputusan  (SK) No. 9/HGU/BPN/2006 terkait perpanjangan HGU No.1/Hambalang. Berdasarkan SK No. 9/HGU/BPN/2006, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor menerbitkan enam sertifikat HGU dan diantaranya sertifikat HGU No. 149 dengan luas sekitar 460 hektar dimana termasuk di dalamnya adalah tanah masyarakat/ PT Genta Prana seluas 211 hektar. Akibatnya terjadi gugatan secara PTUN dan PT Genta Prana/ masyarakat menang melawan Kepala BPN RI/ Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor sampai tingkat PK (Peninjaun Kembali) ketika itu.

Setelah putusan PTUN Jakarta  No. 120/G/2006/PTUN-JKT jo. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 112/B/2007/PT.TUN.JKT jo. Kasasi Mahkamah Agung No. 482K/TUN/2007 jo. Peninjauan Kembali No. 72PK/TUN/2009 inkracht, Kepala BPN RI yang dijabat Joyo Winoto ketika itu, tidak berkenan melaksanakan isi putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga Ketua PTUN Jakarta membuat surat kepada Presiden dan Ketua DPR RI, dan Presiden membuat surat kepada Kepala BPNRI bahwasanya putusan hukum yang telah inkracht harus dilaksanakan.

Sesuai dengan rekam jejak perjalanan hasil perkara PTUN setelah inkracht terkait tanah Hambalang Kabupaten Bogor, bahwasanya telah ada surat dari Menteri Sekretaris Negara saat dijabat oleh Sudi Silalahi yaitu surat No.  R.92/M.Sesneg/D-4/PU.10.01/05/2011 tanggal 2 Mei 2011 yang ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor selaku pihak tergugat yang telah kalah di PTUN dengan isi suratnya yaitu “Bersama ini dengan hormat diberitahukan bahwa Ketua Pengadilan Tata Usaha Jakarta dengan surat No. W2.TUN1.57/HK.06/II/2010 kepada Presiden RI, perihal tersebut pada pokok surat, memberitahukan bahwa perkara PT Genta Prana dan sdr HM Sukandi (Para Penggugat) melawan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Tergugat I), Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor (Tergugat II), dan PT Buana Estate (Tergugat Intervensi II) telah diputus dengan Pengadilan TUN Jakarta No.120/G/2006/PTUN-JKT jo. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 112/B/2007/PT.TUN.JKT jo. Kasasi Mahkamah Agung No. 482K/TUN/2007 jo. Peninjaun Kembali No. 72PK/TUN/2009 telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) tetapi hingga saat ini belum dilaksanakan”

Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 116 ayat (6) Undang Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang No.5 Tahun 1986  tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan memberikan kepastian hukum kepada Penggugat selaku pencari keadilan, Bapak Presiden memberikan arahan agar hukum harus tetap ditegakkan dan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) harus dilaksanakan sesuai  ketentuan peraturan perundang-undangan  dan hasinya dilaporkan kepada Bapak Presiden. Demikian atas perhatian dan kerja samanya, kami mengucapkan terima kasih. Begitu isi suratnya, dengan tembusan surat terhadap Presiden RI dan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

Setelah adanya surat  dari Menteri Sekretaris Negara RI, Sudi Silalahi dalam melaksanakan perintah Presiden yang ditujukan kepada Kepala BPN RI, Joyo Winoto,P.hD ketika itu, karena Joyo Winoto tidak menjalankan perintah Presiden maupun putusan PTUN secara baik dan benar sesuai isi putusan, disebabkan Joyo Winoto membuat Surat Keputusan Pembatalan No. 1/Pbt/BPNRI/2011 tanggal 15 April 2011 (diduga SK Pembatalan dibuat Joyo Winoto dengan tanggal mundur untuk menutupi praktik mafia tanah yang dilakukannya), dengan inti isi surat pembatalan yaitu membuat status quo atas tanah Hambalang seluas 211 hektar dengan patut diduga terima uang suap dari PT Buana Estate dan isi SK juga menyatakan bahwa Kepala BPNRI, Joyo Winoto memberikan ijin kepada PT Buana Estate untuk melepaskan Hak Guna Usaha kepada Negara cq. Kementerian Pertahanan RI seluas 180 hektar di hadapan pejabat berwenang (dalam hal ini maksudnya Notaris), akibatnya Negara membeli tanah Negara dengan menggunakan uang Negara sehingga Negara dirugikan dan PT Buana Estate diuntungkan senilai miliaran rupiah, padahal sebenarnya isi putusan PTUN yang telah inkracht tersebut adalah: membatalkan SK No. 9/HGU/BPN/2006, membatalkan sertipikat HGU No. 149/Hambalang atas nama PT Buana Estate dan menerbitkan sertifikat HGB atas nama PT Genta Prana seluas 211 hektar. Tidak ada isi putusannya supaya tanah dilepaskan atau dijual ke Negara. Sehingga SK Pembatalan yang dibuat oleh Joyo Winoto tersebut  terindikasi melenceng dari isi putusan pengadilan PTUN maupun Perintah Presiden yang ketika itu dijabat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan diduga salahgunakan wewenang yang sampai saat ini belum dapat dituntaskan dengan baik, sehingga Presiden Jokowi diminta juga untuk segera memberikan perintah kebenaran kepada Jaksa Agung RI dan Jajarannya agar indikasi salahgunakan wewenang Joyo Winoto di masa lalu disikat bersih dan bilamana sudah terpenuhi unsurnya agar segera ditangkap dan diamankan, karena Joyo Winoto diduga sebagai manusia licik, dimana apabila ada surat panggilan dari Kepolisian atau Kejaksaan, maka Joyo Winoto akan segera melarikan diri ke luar negeri.

|Saat hal itu kembali dilaporkan kepada Presiden RI melalui Menteri Sekretaris Negara. Sudi Silalahi dengan tegas mengatakan bahwa perintah Presiden wajib hukumnya untuk dilaksanakan oleh Kepala BPN RI, dan bilamana Joyo Winoto tidak mematuhi perintah Presiden atau terindikasi membangkang, maka Joyo Winoto akan dilaporkan kepada Presiden serta akan secepatnya dicopot selaku Kepala BPNRI oleh Presiden. Ternyata dalam satu minggu kemudian, apa yang telah disampaikan oleh Sudi Silalahi sebagai Mensesneg menjadi kenyataan, dimana Joyo Winoto dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh Hendarman Supandji yang merupakan mantan Jaksa Agung RI. Pada saat Hendarman Supandji menjadi Kepala BPNRI terjadi proses pelaksanaan putusan dengan baik dan kemudian digantikan oleh Ferry Mursidan Baldan dimana proses pelaksanaan putusan PTUN yang telah inkracht tersebut juga terlaksana dengan baik dan benar, karena sudah ada surat perintah pengukuran dari Kepala BPNRI/Menteri ATR/BPN yang ditujukan kepada Kakanwil BPN Provinsi Jawa Barat dan selanjutnya diteruskan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor. Tetapi setelah Sofyan A Djalil menjabat Menteri, proses penerbitan sertifikat HGB atas nama PT Genta Prana dihentikan karena Sofyan A Djalil terindikasi pro terhadap PT Buana Estate dimana PT Sentul City selaku perpanjangan tangan dari PT Buana Estate, dan melalui PT Sentul City yang negosiasi dengan Sofyan A Djalil diduga terlibat praktek “mbah mafia tanah” dengan patut terindikasi terima uang suap ratusan miliar rupiah, tandasnya.

Kemudian setelah era pemerintahan Presiden Jokowi, juga sudah ada surat dari Deputi Bidang Hukum dan Perundang undangan Kementerian Sekretariat Negara atas nama Dr. Muhammad Sapta Murti SH, MA, M.Kn kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional No. B-186 Kemensetneg/D-4/HK.04.02/06/2015 tanggal 7 Juni 2015 lalu dengan perihal surat, Permohonan Perlindungan Hukum PT Genta Prana.

Adapun isi suratnya adalah, “Bersama ini dengan hormat kami beritahukan bahwa Presiden telah menerima surat dari Leo Tolstoy dan Partners selaku Kuasa Hukum dari  sdr. HM Sukandi sebagai Komisaris dan Sdr. Dolok F Sirait sebagai Direktur Utama PT Genta Prana dengan surat nomor 016/PH/LT-P/05/2015 tanggal 15 Mei 2015 kepada Presiden, yang menyampaikan permohonan perlindungan hukum terkait dengan tindakan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor yang hingga saat ini tidak melaksanakan isi putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht) dan keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1/Pbt/BPN RI/2011 tanggal 15 April 2011”.

Kementerian Sekretariat Negara atas permasalahan dimaksud telah beberapa kali menindak lanjuti dengan mengirimkan surat terhadap intansi terkait yaitu: a). Surat Menteri Sekretariat Negara Nomor R.92/M.Sesneg/D-4/PU.10.01/05/2011 tanggal 2 Mei 2011 kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional RI dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, b). Surat Menteri Sekretaris Negara Nomor R.21/M.Sesneg/D-4/PU.10.01/4/2014 tanggal 14 April 2014 ke Kepala Badan Pertanahan Nasional, c). Surat Deputi Bidang Perundang-undangan Nomor B-161/Kemesetneg/D-4/PU.10.01/9/2014 tanggal 15 September 2014 kepada Sektretaris Utama Badan Pertanahan Nasional.

Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini kami sampaikan surat Leo Tolstoy & Partners untuk penanganan lebih lanjut dengan prinsip kehati hatian dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Demikian atas perhatian dan kerjasama Sekretaris Utama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI diucapkan terima kasih. Begitu  isi suratnya.

Adapun tembusan surat tersebut disampaikan kepada: Menteri Sekretaris Negara, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.

Laspen Sianturi juga menambahkan, seperti kata pepatah, lain lubuk lain ikannya, maka lain orang lain pula hatinya dan pikirannya, sehingga lain Menteri lain juga keputusannya, dan lain Presiden mungkin juga lain kebijakannya maupun ketegasan dalam memimpin Menterinya. Kira kira seperti itulah yang sedang terjadi saat ini. Pada era pemerintahan SBY karena Kepala BPN RI, Joyo Winoto disinyalir membangkang terhadap perintah Presiden, maka langsung saja Joyo Winoto segera dicopot dari jabatannya. Sedangkan pada era pemerintahan Presiden Jokowi, Menteri Sofyan A Djalil diduga membangkang terhadap perintah Presiden, tetapi hal tersebut terindikasi seperti pembiaran saja, imbuh nya.

Ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada Menteri ATR/BPN, Sofyan A Djalil dan Dirjen 7, RB Agus Wijayanto, baik itu Sofyan A Djalil maupun RB Agus Wijayanto belum berkenan untuk memberikan tanggapan ataupun komentar.

(Arnie/Rodeo/Dior Sirait/Endreuw)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button