
Rakyatbicara.id – Jakarta, Kantor Berita RBN – Pengamat Sengketa Tanah, BeaThor Suryadi kembali mendesak Jokowi untuk perbaiki Pelayanan Publik Dan nasib korban Perampasan mafia tanah, sebab kantor ATR/BPN di nilai bagai Istana sarang ular berbisa, racunnya menyebar kemana-mana.
Rasa perduli sosial mantan pejabat anggota senior KSP Jokowi bukan tanpa alasan hingga mendesak Presiden, memperbaiki birokrasi pelayanan publik dan kinerja kantor ATR/BPN.
Pasalnya, menurut pengamatan dia, bahwa seluruh masyarakat khususnya korban mafia tanah mengetahui bahwa lembaga yang mengurusi dokumen pensertifikatan tanah adalah kantor kantor ATR/BPN di nilai sudah bagai Istana sarang Ular berbisa.

Lewat kantor BPN, sepak terjang mafia tanah sudah menggila selama ini, bisanyapun telah menyebar di wilayah Indonesia racunnya telah merasuk pada sendi-sendi birokrasi lainnya hingga banyak menyengsarakan menjadi korban ketidak adilan.
Presiden Jokowi juga tahu itu, maka sudah seharusnya memperbaiki sistem pelayanan publik guna mengurangi perampasan mafia tanah di negara ini.
Ditambahkannya, tiap hari beban tampak kepermukaan, berbagai kasus di akibatkan BPN, bermunculan dan kini menumpuk tanpa ada kejelasan keadilan.
Penumpukan kasus masalah sengketa tanah sudah bak seperti deret ukur, sedangkan penyelesainnya mengikuti deret hitung pun tidak kunjung ada, sehingga bisa kantor BPN itu, telah menyembur hingga pelosok nusantara.
Apalagi problem berkaitan sengketa tanah yang selalu dijadikan sebagai dalil atau landasan pembangunan pemerintah dalam mempermudah investor adalah catatan untuk mendapatkan lahan yang luas seperti HGU perkebunan, pertambangan dan juga property.
Sedangkan tanah – tanah yg telah habis masa HGU nya yang seharusnya dikonversikan menjadi tanah hak milik rakyat guna menopang ekonomi kehidupan sehari – hari para petani, malah disengaja di tertunda-tunda terus hingga saat ini.

Bahkan lebih sadisnya perbuatan lewat ATR/BPN, tanah-tanah milik Rakyat yang telah bersertifikat pun banyak yang diklaim oleh Investor dan termasuk bagian dari HGU disengaja kesalahan Ploting tanah yang diterbitkan oleh BPN, sehingga ini menjadi sengketa geospasial, dan BPN tidak berani menyelesaikan secara profesional dan ilmiah menurut Ilmu Geodesi dan Geomatika.
Malahan terkesan pihak ATR/BPN setelah bermasalah cenderung menghindarinya dan dengan mudahnya membuang persoalan melemparnya untuk dilanjutkan ke pengadilan, alhasil penyelesaiannya berlarut-larut hingga puluhan tahun.
Berbagai kasus sengketa banyak bermunculan ke pengadilan hingga akhirnya menyengsarakan banyak masyarakat dalam mencari keadilan di negeri ini.
Sementara mafia tanah bagai menghirup udara segar tidak perduli apa itu keadilan, meski keadilan itu adalah sebagai landasan negara ini menjadi dasar merdeka pengukir Pancasila.
Kita tahu dalam Pancasila telah dijadikan ada 2 butir pondasi tentang Keadilan, di antaranya pada sila ke 2 Kemanusian yang adil dan beradab, dan sila ke 5 Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Dan yang lebih mengherankan, sering terjadi meski warga sudah punya kekuatan surat misalnya telah menang dalam perkara bahkan telah memegang putusan incrach berkekuatan hukum tetap, namun sampai sekarang banyak kasus yang belum mendapatkan keadilan atau penyelesaian karena ulah pihak BPN masih membangkang tidak patuh terhadap tegaknya hukum yang berkeadilan.
Sungguh menyedikan, walaupun pemerintah punya dua Lembaga sebagai wujud pelayanan publik yakni, Ombudsman dan Komisi Informasi Publik (KIP) namun tetap saja kurang berpengaruh untuk ATR/BPN seperti contoh yang sudah lama dialami seorang perempuan bernama ibu Ani warga bintaro.
Meski sudah ada keputusan dari 2 lembaga ini, juga di abaikan begitu saja oleh pihak BPN.
Padahal, telah ada UU No 14 tahun 2008 sebagai alat monitor pemerintah, namun UU ini sepertinya prodak yang sia sia karena Komisi ini seperti lembaga ompong pungsinya tidak maksimal dalam mewujudkan keadilan tersebut.
Telah tertuang di pasal 17 nya banyak ketertutupan atas informasi, juga tidak di cantumkan keterbukaan tentang warkah untuk mendapatkan kepastian titik koordinat dalam kepemilikan, apalagi ditambah KIP tidak adanya hak di memiliki untuk eksekusi atas keputusannya.
Niat Jokowi untuk memiliki satu data pun akhirnya terhadang oleh UU No 14 ini, khususnya pasal 17, karena syarat untuk terbentuknya satu data harus di mulai dengan keterbukaan.
Maka sistem Geospasial itu bisa di terapkan untuk mewujudkan pencapaian satu data.
Gagasan FKMTI tentang adu data dari pihak pihak adalah trobosan yang harus nya dijalankan oleh pihak BPN.
Adu data merupakan sarana yang sangat demokratis untuk mencari keadilan, tandas Beathor Suryadi Kamis 20/1/2022 kepada RBN (ms/RBN)