
Negara dan Pejabat Negara Diduga Kalah Melawan Mafia Tanah, Kwee Cahyadi Kumala Terindikasi “Di backup” Oleh Pejabat Negara dan Mantan Pejabat
www.rakyatbicara.id – Jakarta, Kantor Berita RBN – Sebagai sebab akibat dan akibat sebab permainan tingkat tinggi praktik mafia tanah dari masa lalu hingga masa sekarang terkait tanah Hambalang Kabupaten Bogor secara sistematis dan berkesinambungan, akibatnya membuat bahwasanya Negara dan Pejabat Negara diduga kalah untuk melawan mafia tanah. Pasalnya pelaku indikasi praktik mafia tanah dimaksud bersama kroni kroninya sampai saat ini masih bebas berkeliaran untuk menikmatin hasil dari praktiknya alias belum bisa tersentuh oleh hukum dan diduga juga adanya indikasi kerugian Negara belum juga bisa kembali kepada Negara. Hal tersebut membuat kita merasa prihatin melihat nasib dan masa depan dari pertanahan bangsa ini. Bisa kacau ini Negara bilamana mafia sudah bisa bercokol di Kantor Negara maupun di Kantor Pemerintah.

Hal itu disampaikan oleh Aktivis Bela Negara, Laspen Sianturi untuk membuka pembicaraan pada saat wawancara khusus di Kantor Redaksi RBN di Jakarta pada hari Senin (24/1/2022).
Laspen Sianturi yang juga merupakan Ketua Relawan Jokowi-Ma’ruf AB3NP (Anak Bangsa Bersatu Bela Negara Pilpres) pada acara Pilpres 2019 lalu ini juga memaparkan dengan lugas, bila dilakukan telusur terhadap rekam jejak tanah Hambalang dimaksud, ditemukan fakta kebenaran bahwasanya alas hak kepemilikan awal tanah PT Buana Estate pada tahun 1977 lalu diduga cacat hukum dan terindikasi “rampok” tanah Negara dan tanah masyarakat seluas 700 hektar, karena terkait asal usul tanah sertifikat HGU No. 1/Hambalang atas nama PT Buana Estate terindikasi merupakan hasil perbuatan melawan hukum di masa lalu dengan penyerobotan tanah terhadap Perkebunan Ciderati/ Masyarakat karena adanya Hak Erparcht De te Buitenzorg Gevostigde NV Handle en Cultur Matschappy Tjidatatie seluas 813 Ha yakni hak Erparcht No. 79, No. 107, No. 108, No. 213, dan No. 220 yang berlaku sampai dengan tahun 1980, tetapi pada tahun 1977 PT Buana Estate bisa memohon penerbitan sertifikat HGU dengan diduga secara praktik mafia tanah secara sistematis.
Sebahagian atas tanah dmaksud disewakan kepada masyarakat setempat dengan sistem plasma. Sesuai rekam jejaknya, sebelum Indonesia merdeka warga masyarakat Hambalang sudah menguasai fisik tanahnya untuk dimanfaatkan sebagai lahan bertani dan berkebun dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari hari oleh masyarakat. Tahun 1962, masyarakat telah membayar pajak hasil bumi dan tahun 1964 masyarakat telah mendapatkan kartu kuning surat tanda kepemilikan sementara (landreform) dari Kadaster Bogor. Tetapi sertifikat HGU No. 1 terbit atas nama PT. Buana Estate oleh Kantor BPN pada tanggal 25 Maret 1977 dan berakhir tanggal 30 Desember 2002. Penerbitan Sertifikat HGU No. 1 tersebut sama sekali tidak diketahui oleh masyarakat dan bahkan Aparat Desa sekalipun juga tidak ada yang mengetahui informasinya. Tidak pernah ada pemberitahuan secara terbuka kepada Kepala Desa dan/atau masyarakat. Adapun penerbitan HGU No. 1/Hambalang adalah atas dasar bantuan oknum KODAM V JAYA di masa lalu sehingga terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK1/HGU/DA/77 tanggal 25 Januari 1977 dengan memutuskan antara lain:, sebelum terbit Sertifikat HGU atas nama PT. Buana Estate seharusnya terlebih dahulu membayar ganti rugi kepada NV Handel en Cultur Matschappij Tjideratie sesuai Diktum Kedua dan juga harus terlebih dahulu membayar ganti rugi kepada masyarakat yang menguasai fisik tanahnya, sesuai Diktum Keempat surat keputusan tersebut. Adapun pembayaran ganti rugi dimaksud sama sekali tidak pernah dilaksanakan oleh PT Buana Estate, akan tetapi langsung saja sertifikat diterbitkan leh BPN dengan sembarangan yaitu sertifikat HGU No. 1 atas nama PT. Buana Estate.
Pada penerbitan sertifikat HGU No. 1/Hambalang, PT. Buana Estate diduga menipu Negara dengan persekongkolan mufakat jahat bersama oknum karena alas hak PT. Buana Estate yang dibuat di Kantor Notaris R. Soerojo Wongsowidjojo SH yakni Akta No. 39 tanggal 18 Juni 1976 silam, dimana pada halaman 2 akta dimaksud tertulis keterangan, “Bahwa berdasarkan surat dari Kepala Kantor Agraria dan Pengawasan Agraria Daerah Bogor (pada waktu itu) tertanggal 25 Nopember 1967 No. 1364/Kapad/P/1967, surat mana aslinya tidak diperlihatkan kepada saya Notaris”.
Pada Akta No. 39 tanggal 18 Juni 1976 tersebut juga disebutkan bahwasanya EE Mantik selaku pihak penjual melepaskan hak atas hak garapan tanahnya kepada Negara dan sekaligus juga kepada PT Buana Estate. Kok pelepasan hak bisa kepada dua pihak sekaligus. Aneh tapi nyata ini, imbuhnya.
Disini diduga mulai terjadinya praktik mafia tanah oleh Keluarga Probosutrdjo bersama istrinya Ratmani karena Direktur Utama PT BUana Estate ketika itu dijabat oleh Ratmani. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya dengan terbitnya sertifikat HGU PT Buana Estate pada tahun 1977 lalu yang diduga secara cacat hukum dan terindikasi “rampok” tanah Negara dan tanah masyarakat seluas 700 hektar, sehingga Negara dan Pejabat Negara (Khususnya Depdagri cq. Dirjen Agraria disinyalir kalah melawan praktik mafia tanah ketika itu. “Di sini terjadi peristiwa PERTAMA bahwasanya Negara dan Pejabat Negara disinyalir kalah melawan praktik mafia tanah.
Sebelum sertifikat No. 1/Hambalang atas nama PT. Buana Estate tersebut habis masa berlakunya, kemudian PT. Buana Estate mengajukan permohonan perpanjangan HGU kepada BPN dengan surat No. 01/BE/III/2000/G pada tanggal 22 Maret 2000. Atas dasar pasal 10 ayat (1) PP No. 40 tahun 1996 permohonan tersebut ditolak oleh BPN sesuai dengan surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor No. 250-46 tanggal 23 Desember 2002, bahwasanya menyatakan tanah tersebut kembali ke Negara di bawah wewenang Bupati Bogor, terhitung sejak 31 Desember 2002 karena tidak sesuai dengan pasal 9 ayat (1) PP No. 40 tahun 1996. Pada dasarnya tanah dimaksud merupakan tanah Negara sebelum terbit HGU pada tahun 1977 dan kembali menjadi tanah negara pada tahun 2002 setelah HGU berakhir.jadi tanah dimaksud jelas merupakan tanah Negara.
Setelah permohonan perpanjangan HGU No. 1 atas nama PT. Buana Estate ditolak, selanjutnya PT. Buana Estate memohon rekomendasi No. 011/Komlh/BE/I/2003 tanggal 28 Januari 2003 kepada Bupati Bogor untuk mendapatkan persetujuan perpanjangan HGU No. 1 dimaksud. Bahwa atas dasar kesepakatan dan persetujuan bersama antara Ketua DPRD Bogor, para Pejabat PEMDA Bogor, Camat Citeureup, para Kepala Desa setempat dengan PT. Buana Estate, maka terbitlah surat rekomendasi Bupati Bogor No. 593.4/135. Pem.Um tanggal 13 Juli 2004. Yaitu menyetujui diperpanjang SHGU No. 1 hanya seluas 450,055 Ha atas nama PT. Buana Estate dan sisanya 250 Ha diperuntukkan untuk kepentingan Pemerintah Desa dan prioritas masyarakat. Kemudian keputusan Bupati tersebut ditindak lanjuti oleh PT. Buana Estate pada tanggal 24 Agustus 2004, dengan membayar pemasukan ke Kas Negara sebesar Rp. 140.943.000 (seratus empat puluh juta sembilan ratus empat puluh tiga ribu rupiah) untuk seluas 455,05 Ha dan bukan untuk tanah seluas 6.578.315 M2.
Tanpa memperhatikan surat Bupati Bogor No. 593.4/135. Pem.Um tanggal 13 Juli 2004 dimaksud bahwasanya tanah tersebut kembali ke Negara di bawah wewenang Bupati Bogor, Kepala BPN RI dimana ketika itu dijabat oleh Joyo Winoto, PhD menerbitkan Surat Keputusan No. 9/HGU/BPN/2006 yaitu pemberian perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha kepada PT Buana Estate seluas 6.578.315 M2 selama 25 tahun. “Di sini terjadi peristiwa KEDUA bahwasanya Negara dan Pejabat Negara disinyalir kalah melawan praktik mafia tanah”. Joyo Winoto disinyalir terlibat praktik mafia tanah dengan Rita Probosutedjo

Dengan dasar Surat Keputusan tersebut pada tanggal 15 Juni 2006 Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor menerbitkan 6 (enam) sertifikat HGU dan satu sertifikat diantaranya yaitu sertifikat HGU No. 149/Hambalang di dalamnya termasuk tanah masyarakat seluas 211 hektar, dan akibatnya terjadi gugatan PTUN Jakarta, dimana pihak penggugat masyarakat Bogor/PT Genta Prana dan pihak tergugat adalah Kepala BPN RI dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.
PT Genta Prana mengajukan gugatan ke PTUN dan dimenangkan oleh PT Genta Prana dengan Putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu Putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjaun Kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009. Adapun isi putusan dimaksud adalah, menyatakan batal Surat Keputusan Tergugat I/Terbanding Nomor: 9/HGU/BPN/2006 tanggal 01 Juni 2006 tentang pemberian perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha atas tanah terletak di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, atas nama PT. Buana Estate, sebatas dan seluas 6.578.315 M2. Memerintahkan kepada Tergugat I dan Tergugat II/para Terbanding untuk mencabut keputusannya masing-masing sebagaimana tersebut dalam amar putusan di atas dan menerbitkan keputusan baru tentang perpanjangan Hak Guna Usaha atas nama PT. Buana Estate/Tergugat II Intervensi/Terbanding dengan mengeluarkan tanah yang dikuasai oleh para Penggugat/para Pembanding seluas 2.117.500 M2. Memerintahkan kepada Tergugat I dan Tergugat II/para Terbanding untuk memproses lebih lanjut penerbitan Hak Guna Bangunan atas nama PT. Genta Prana (para Penggugat/para Pembanding) atas tanah seluas 2.117.500 M2 sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku.
Untuk menjalankan isi putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu Putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjauan Kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009, Joyo Winoto, PhD selaku Kepala BPN RI/ Pihak tergugat ketika itu, mmbuat surat keputusan pembatalan No.1/Pbt/BPNRI/2011 tanggal 15 April 2011, dimana inti dari pembatan tersebut adalah; 1). Membuat status quo atas tanah seluas 2.117.500 M2. 2). Memberikan ijin kepada PT Buana Estate untuk melepaskan Hak Guna Usaha dihadapan pejabat yang berwenang seluas 1.797.414 M2 kepada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (Akibatya diduga Negara membeli tanah Negara dengan menggunakan uang Negara sehingga Negara dirugikan). “Di sini terjadi peristiwa KETIGA bahwasanya Negara dan Pejabat Negara disinyalir kalah melawan praktik mafia tanah” karena Joyo Winoto Ketika itu menjabat Kepala BPNRI memplesetkan isi putusan Putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjauan Kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009 karena membuat putusan di atas putusan serta bertindak seolah olah seorang hakim di atas hakim. Surat keputusan pembatalan No.1/Pbt/BPNRI/2011 tanggal 15 April 2011, diduga pro terhadap pelaku praktik mafia tanah yakni PT Buana Estate dan Joyo Winoto terindikasi salahgunakan wewenang, ujanya dengan semangat tinggi.
Selain kepada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, pihak PT Buana Estate juga melepaskan tanah untuk menjadi Wisma Olah Raga Hambalang. Sedangkan di lain sisi, sebagian eks HGU No. 149/Hambalang tersebut yaitu seluas 2.369.475 M2 telah diterbitkan sertifikat HGU No. 2967/Hambalang atas nama PT Buana Estate.
Dengan menggunakan alat bukti hak kepemilikan tanah sertifikat HGU No. 149/Hambalang yang sudah dinyatakan batal oleh PTUN, PT Buana Estate melakukan gugatan secara Perdata di Pengadilan Negeri Cibinong No. 146/Pdt.G/2009/PN.Cbn Jo. Putusan Kasasi No. 2980K/Pdt/2011 Jo. Putusan Peninjauan Kembali No. 588PK/Pdt/2013 dengan isi putusan, “Tanah seluas 2.117.500 M2 dimaksud merupakan tanah milik PT Buana Estate karena berada di dalam Sertifikat HGU No. 149/Hambalang”. Karena pada sidang perdata bahwasanya pejabat BPN disinyalir memberikan keterangan palsu kepada hakim Perdata karena tidak memberikan informasi bahwa sertifikat HGU no 149/Hambalang sudah dibatalkan pengadilan dan sudah dicatat pembatalannya pada arsip warkah pertanahan “Di sini terjadi peristiwa KEEMPAT bahwasanya Negara dan Pejabat Negara disinyalir kalah melawan praktik mafia tanah”.
Disebabkan adanya dua putusan hukum dengan satu objek perkara yaitu putusan hukum Tata Usaha Negara dan putusan hukum secara Perdata, dimana kedua putusan tersebut merupakan sama sama produk hukum tingkat Mahkamah Agung Republik Indonesia, tetapi pada gugatan secara Perdata PT Buana Estate melawan PT Genta Prana menggunakan alat bukti kepemilikan tanah dengan menggunakan Sertifikat HGU No. 149/Hambalang yang sudah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga ditemukan fakta kebenaran, bahwasanya tanah tersebut merupakan milik PT Buana Estate bilamana sertifikat HGU No. 149/Hambalang masih berlaku dan belum dibatalkan oleh pengadilan, dan sebaliknya bahwasanya tanah tersebut bukan lagi milik PT Buana Estate karena bukti hak kepemilikan PT Buana Estate yaitu sertifikat HGU No. 149/Hambalang sudah dibatalkan oleh pengadilan dan juga sudah dicatat pembatalannya di arsip warkah pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.
Putusan pengadilan secara perdata sudah dilaksanakan eksekusi oleh Pengadilan Negeri Cibinong, sedangkan putusan Tata Usaha Negara dimana pihak BPN sebagai pihak tergugat yang seharusnya melaksanakan isi putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, tetapi sampai saat ini pihak Kementerian ATR/BPN dan Jajarannya belum berkenan untuk melaksanakan isi putusan Tata Usaha Negara secara sempurna karena belum melaksanakan isi putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjaun kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009 yakni untuk memproses lebih lanjut penerbitan Hak Guna Bangunan atas nama PT. Genta Prana.
Disebabkan permohonan sertifikat PT Genta Prana kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN ditolak oleh Sofyan A. Djalil dengan terindikasi salahgunakan wewenang yaitu surat jawaban No. 551/39.3/II/2018 tanggal 19 Februari 2018, membuat Direktur Utama PT Genta Prana, Kombes Pol Pur. Drs. Dolok F Sirait melaporkan Sofyan A. Djalil dengan Laporan Polisi No. LB/B/1425/XI/2018/Bareskrim tanggal 5 Nopember 2018, dan sudah dterbitkan SP3 oleh Dirtipidum Bareskrim Polri. “Di sini terjadi peristiwa KELIMA bahwasanya Negara dan Pejabat Negara disinyalir kalah melawan praktik mafia tanah” Adapun Laspen Sianturi mengatakan seperti itu, karena seperti kata pepatah, lain lubuk lain ikannya, maka lain orang lain pula hatinya dan pikirannya, sehingga lain Menteri lain juga keputusannya, Pada era pemerintahan SBY karena Kepala BPN RI, Joyo Winoto disinyalir membangkang terhadap perintah Presiden, maka langsung saja Joyo Winoto segera dicopot dari jabatannya.
Untuk dapat mengungkap tabir kebenaran, sesuai dengan hasil investigasi kita terhadap Narasumber yang layak dipercaya tetapi kurang berkenan namanya ditulis dalam pemberitaan, mengatakan, karena Menteri Sofyan A Djalil memberikan laporan kepada Presiden bahwa terkait tanah Hambalang terjadi dua putusan yang bertentangan, dimana perkara PTUN pihak Genta Prana posisinya menang sedangkan pada perkara perdata pihak PT Buana Estate yang posisinya menang, maka sesuai informasi yang didapatkan dari BPN, bahwasanya sertifikat dari kedua belah pihak, baik PT Genta Prana maupun PT Buana Estate tidak akan diterbitkan sertifikatnya oleh BPN kecuali kedua belah pihak bersedia untuk berdamai, imbuhnya.
Narasumber juga menambahkan, sehubungan dengan surat dari Ketua Pengadilan Negeri Cibinong atas nama Irfanudin, SH, MH dengan surat No. W11.U20/6124/HK.02/XI/2020 tanggal 23 Nopember 2020 kepada Direktur Utama PT Genta Prana, dengan tembusan surat kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/ BPN RI, Kepala Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, dengan inti isi surat, yaitu: Bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut selain telah mempunyai kekuatan hukum tetap ternyata juga bersifat COMDEMNATOIR sehingga oleh karenanya putusan tersebut dapat dilaksanakan (executable). Sedangkan Putusan Perdata Pengadilan Negeri Cibinong tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, juga akan tetapi oleh karena amar putusannya bersifat DECLARATOIR, maka terhadap putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan eksekusi secara riil berupa penyerahan dan pengosongan atas tanah objek sengketa. Mana mungkin seorang Menteri ATR/BPN, Sofyan A Djalil yang jelas jelas memiliki gelar sangat banyak, tidak memahami artinya Comdemnatoir dan perbedaannya Declaratoir, tandasnya.
Walaupun Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN atas nama Sofyan A Djalil sudah mengetahui penjelasan dari Ketua Pengadilan Negeri Cibinong (surat tembusan disampaikan kepada Menteri ATR/BPN), akan tetapi sampai saat ini Menteri Agraria/ BPN dan Jajarannya belum juga berkenan untuk menjalankan isi putusan PTUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu untuk menerbitkan sertifikat HGB atas nama PT Genta Prana, tetapi Menteri diduga memerintahkan Dirjen VII Kementerian ATR/BPN atas nama RB Agus Widjayanto untuk menggantung persoalan dengan tujuan memelihara perkara pertanahan karena adanya indikasi suap dengan alasan acara mediasi serta terindikasi terima uang suap dengan nilai ratusan miliar rupiah.

Setelah acara mediasi selesai, beberapa minggu kemudian dilakukan pertemuan untuk perdamaian antara pihak PT Sentul City dan PT Genta Prana yang diwakili oleh Dolok F Sirait. Dalam pertemuan tersebut terjadi hal aneh tapi nyata, karena Sweeteng bersedia berdamai dengan pihak PT Genta Prana yaitu hanya memberikan tanah seluas 10 (sepuluh) hektar dari tanah seluas 211 hektar dimaksud disebabkan pihak PT Sentul City sudah habis banyak duitnya untuk memberikan uang siram (diduga uang suap) sebanyak Rp. 200 (dua ratus) miliar rupiah kepada BPN dan kepolisian. Dalam hal ini diduga Menteri ATR/BPN Sofyan A Djalil bersama kroninya Dirjen VII RB Agus Wijayanto dan Direktur Perkara an. Ketut secara tiga serangkai selaku aktor intelektual diduga pelaku praktek mafia tanah untuk memelihara perkara pertanahan di Kementerian ATR/BPN yakni untuk tidak menjalankan isi putusan PTUN yang telah incracht yaitu tidak menerbitkan sertifikat HGB atas nama PT Genta Prana dengan diduga menerima uang suap ratusan miliar rupiah. Sebenarnya tidak ada urusan PT Genta Prana dengan PT Sentul City karena pihak yang berperkara secara perdata adalah PT Buana Estate (perusahaan milik keluarga Soeharto) dengan PT Genta Prana.
Menurut Narasumber, setelah Menteri ATR/BPN dilaporkan kepada Bareskrim Polri dengan pasal salahgunakan wewenang, kemudian Sofyan A Djalil mengadu kepada Presiden Jokowi bahwa Polisi selaku Penyidik mencari cari kesalahan dirinya dan melakukan BAP, dimana menurut Sofyan A Djalil tidak ada kesalahannya. Dalam hal ini Sofyan A Djalil diduga munafik serta membohongi Presiden, dan akhirnya Presiden Jokowi terindikasi memberikan perintah kepada Kapolri yang saat itu dijabat oleh Jenderal Polisi Idam Aziz, supaya Idam Aziz menyelesaikan permasalahan dimaksud secara baik dan benar.
Tetapi penyelesaian yang dilaksanakan oleh Idam Aziz sebagai Kapolri disinyalir melenceng dari kebenaran maupun tidak sesuai dengan perintah Presiden Jokowi, karena Idam Aziz diduga terima uang suap ratusan miliar rupiah sehingga memerintahkan Jajaran Bareskrim Polri untuk menerbitkan SP3 atas laporan polisi dimana terlapornya adalah Sofyan A Djalil dengan terlebih dahulu memindahkan laporan polisi dimaksud dari Dirtipideksus kepada Dirtipidum, baru kemudian diterbitkan SP3, serunya.
Sesuai dengan surat pemberitahuan terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan oleh Penyidik Bareskrim Polri, Direktur Tindak Pidana Umum, kala itu oleh Brigadir Jenderal Polisi Ferdy Sambo, SH, SIK, MH yaitu surat No. B/671/VI/2020/Dittipidum kepada Jaksa Agung Republik Indonesia Cq. Jampidum pada tanggal 30 Juni 2020., tertulis dengan jelas, yakni pada poin 1. Rujukan: a.Laporan Polisi No. LP/B/1429/XI/2018/Bareskrim tanggal 5 Nopember 2018 atas nama Drs. Dolok F Sirait. b.Surat Perintah Penyidikan Lanjutan No. SP.Sidik/550.2a/V/2020/Dittipidum tanggal 22Mei 2020. c.Surat Perintah Penghentian Penyidikan No. SPPP/97.4b/VI/2020/Dittipidum tanggal 30Juni 2020. d.Surat Ketetapan Dirtipidum Bareskrim Polri No. S.Tap/97.4c/VI/2020/Dittipidum tanggal 30 Juni 2020 tentang penghentian penyidikan.
Adapun pada poin 2 tersurat, Sehubungan dengan rujukan tersebut di atas, disampaikan kepada Jampidum bahwa terhadap penyidikan dugaan tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan dan atau tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP dan atau Pasal 3 Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang No. 31 Tahun 1999, yang diduga dilakukan oleh terlapor atas nama Dr. Sofyan A Djalil, SH, MH, M.ALD telah dihentikan penyidikannya dikarenakan bukan merupakan tindak pidana.
Pada poin 3 surat dimaksud. tersurat, “Demikian untuk menjadi maklum” dan tembusan surat disampaikan kepada: Kabareskrim Polri, Karowassidik Bareskrim Polri, Drs. Dolok F Sirait (Pelapor) dan Dr. Sofyan A Djalil, SH, MH, M.ALD (terlapor). Masih menurut sumber, memang sudah terjadi perdamain antara PT GP dan PT BE dengan nilai Rp 36 M. Tapi itu tidak sebanding dan tidak manusiawi karena hanya satu persen dari nilai tanah. Itupun karena terpaksa.
Disebabkan Idam Aziz ketika menjabat Kapolri terindikasi memplesetkan perintah Presiden Jokowi, maka demi untuk dapat terwujudnya kebenaran dan keadilan dengan baik, Kapolri yang saat ini dijabat oleh Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si diminta dengan hormat agar lakukan teliti, telaah dan pengkajian atas dugaan borok warisan peninggalan Idam Aziz, yakni supaya membuat kebijakan yang manusiawi terhadap keberadaan mantan Direktur TIpideksus, Daniel Tahi Monang Silitonga karena bisa dikatakan menjadi apes karirnya serta menjadi korban atas penjoliman sebagai akibat sebab dari indikasi praktik suap ratusan miliar rupiah oleh Idam Aziz ketika menjabat Kapolri, karena ditemukan fakta kebenaran yakni Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus, Daniel Tahi Monang Silitonga ketika itu diperksa oleh Propam Mabes Polri atas laporan yang mengaku ngaku dari unsur masyarakat, tapi ternyata diduga pelapornya adalah RB Agus Wijayanto yang notabene menjabat Dirjen VII di Kementerian ATR/BPN. Akibat dari Tahi Silitonga dilaporkan ke Propam Mabes Polri, Tahi Silitonga dicopot dari Dirtipideksus, padahal Jajaran Tim Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipdeksus) melaksakan BAB terhadap Sofyan A Djalil adalah melaksanakan tugas kebenaran karena adanya laporan polisi maka selaku Penyidik dalam memeriksa Menteri Sofyan A Djalil bersama kroninya RB Agus Wijayanto selaku terlapor karena pejabat terindikasi salahgunakan wewenang. Akibat dari pengaduan disinyalir oleh RB Agus Wijayanto itu, Tahi Silitonga dicopot dari jabatannya sebagai Direktur Tindak Pidana Ekonomi gg pada tanggal 1 Mei 2020 lalu dan dimutasi menjadi Widyaiswara Kepolisian Utama Tingkat I Sespim Lemdiklat Polri. Hal ini terjadi sebagai dampak dari diduga laporan polisi dengan terlapor Sofyan A Djalil yang dipindahkan dari Direktorat Tipideksus ke Direktorat Tindak Pidana Umum (Tipidum), baru kemudian diterbitkan SP3 oleh Direktur Tipidum pada tanggal 30 Juni 2020.
Masa seorang Perwira Tinggi Kepolisian yang melaksanakan tugas kebenaran karena memeriksa terlapor sesuai dengan SOP maupun Juklak dan Juknis Kepolisian dapat dikorbankan dan dicopot dari jabatannya hanya karena Idam Aziz terindikasi terima uang suap ratusan miliar rupiah. Kami yakin dan percaya bahwasanya Kapolri Listyo dapat membuat keputusan terbaik terkait keberadaan Tahi Silitonga karena Pak Kapolri adalah pejabat yang memegang teguh prinsip kebenaran serta merupakan Kapolri kiriman Tuhan Yang Maha Kuasa kepada rakyat Indonesia, tandasnya.

Terjadinya indikasi persekongkolan untuk mufakat jahat antara Menteri Agraria dan Tata Ruang ATR/BPN, Sofyan A Djalil dengan Kwee Cahyadi Kumala alias Sweeteng agar Menteri ATR/BPN Sofyan A Djalil tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap terkait tanah Hambalang Bogor yakni Putusan No. 482K/TUN/2007 tanggal 20 Februari 2008 jo. Peninjauan Kembali No. 72PK/TUN/2009 tanggal 16 September 2009 dengan patut diduga suap ratusan miliar rupiah menjadi ancaman terhadap Negara yang layak untuk segera diantisipasi oleh Presiden Jokowi selaku Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan demi untuk dapat berlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara dengan baik dan benar, karena indikasi praktik mafia tanah seperti itu bisa jadi berkembang ke berbagai tempat dan tanah lainnya.
Disebabkan adanya indikasi persekongkolan untuk mufakat jahat tersebut yakni antara Menteri Agraria dan Tata Ruang ATR/BPN, Sofyan A Djalil dengan Kwee Cahyadi Kumala alias Sweeteng agar Menteri ATR/BPN Sofyan A Djalil tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap walaupun putusan itu sudah 10 tahun lebih sudah incracht akibatnya “Di sini terjadi peristiwa KEEENAM bahwasanya Negara dan Pejabat Negara disinyalir kalah melawan praktik mafia tanah”.
Laspen Sianturi juga menambahkan, seiring dengan hal tersebut, maka secara hormat diminta supaya Basariah Panjaitan kembali ke jalan yang benar maupun kebenaran dengan mengundurkan diri dari jabatan Presiden Komisaris PT Sentul City dengan tetap memegang teguh prinsip kebenaran dan keadilan dengan baik dan benar agar kehidupan berbangsa dan bernegara di wilayah hukum Indonesia dapat berlangsung baik, Pasalnya. mantan wakil Ketua KPK, Basariah Panjaitan menduduki jabatan selaku Presiden Komisaris di PT Sentul City diduga menjadi “back up” ataupun sebagai deking PT Sentul City yang terindikasi lakukan praktek mafia tanah terkait tanah Hambalang Kabupaten Bogor.
Saya sebagai warga Negara Indonesia yang kebetulan merupakan keturunan berdarah Batak dan sama dengan beliau Basariah Panjaitan, bahwa saya merasa sangat bangga dan apresiasi atas segala prestasi dan kinerja dari Basariah Panjaitan. Tetapi setelah Basaria Panjaitan ditunjuk menjadi Presiden Komisaris PT Sentul City Tbk. Penunjukkan itu merupakan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang digelar Rabu, 14 Oktober 2020 lalu. Basaria menggantikan Tranggono Ting yang sebelumnya menjabat sebagai Presiden Komisaris. Adapun Presiden Direktur PT Sentul City dijabat oleh Tjetje Muljanto dimana selumnya dijabat oleh sweeteng.. Maka dengan Keberadaan Basariah Panjaitan duduk menjadi Presiden Komisaris membuat rasa hormat kami selaku Aktivis terhadap beliau menjadi seperti pudar ditelan badai, karena diduga menjadi back up PT Sentul City lakukan praktik mafia tanah. Patut diduga bahwasanya keberadaan Basariah Panjaitan duduk menjadi Presiden Komisaris di PT Sentul City karena adanya ikut campur tangan dari Luhut Binsar Panjaitan.
Saat hal itu dikonfirmasi kepada Basariah Panjaitan dan Luhut binsar Panjaitan melalui WA, baik Luhut Binsar maupun Basariah Panjaitan belum berkenan memberikan tanggapan. Adapun Kwee Cahyadi Kumala alias sweeteng sangat sulit untuk dijumpai dalam melakukan konfirmasi.
Sedangkan ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, dan Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, Sofyan A Djalil dan RB Agus Wijayanto juga belum berkenan memberikan tanggapan ataupun komentar.

Sebagai materi penutup pembicaraan dalam wawancara khusus tersebut, Laspen Sianturi selaku Aktivis Bela Negara dan sekaligus sebagai Ketua Relawan Jokowi- Ma’ruf, menyampaikan dengan hormat, sejak terbitnya sertifikat HGU PT Buana Estate pada tahun 1977 lalu sampai dengan saat ini tahun 2022 ditenukan fakta kebenaran bahwasanya terjadi ENAM kali peristiwa dimana Negara dan Pejabat Negara disinyalir kalah melawan praktik mafia tanah. Maka untuk bisa memutus mata rantai perkembangan praktik mafia tanah dimaksud tersebut, secara hormat diminta kepada Presiden Jokowi: 1). Agar Bapak Presiden Jokowi segera mencopot Sofyan A Djalil dari jabatannya selaku Menteri ATR/BPN dan memerintahkan penggantinya supaya membersihkan Jajaran Kementerian ATR/BPN dari praktik mafia tanah baik itu dari tingkat Kepala Kantor, Kepala Kantor Wilayah Provinsi sampai dengan jajaran kementerian, 2). Agar Bapak Presiden Jokowi segera memberikan perintah kebenaran kepada Kapolri Jenderal Polisi Listiyo Sigit Prabowo, agar Kapolri laksanakan teliti, telaah dan pengkajian atas indikasi borok warisan dari Kapolri sebelumnya yaitu indikasi suap Idam Aziz bersama kroninya di jajaran Polri dan membersihkan Jajaran Mabes Polri dari oknum Polri yang terlibat atas indikasi suap dimaksud, serta meluruskan atas adanya dugaan fitnah terhadap mantan Dirtipideksus Tahi Silitonga atas laporan diduga dari Dirjen 7 Kementerian ATR/BPN atas nama RB Agus Wijayanto kepada Kadiv Propam Polri ketika itu dimana RB Agus Wijayanto mengaku ngaku dari unsur masyarakat padahal merupakan pejabat Negara, 3). Agar Bapak Presiden Jokowi segera memberikan perintah kebenaran kepada Kapolri Jenderal Polisi Listiyo Sigit Prabowo, agar Kapolri memerintahkan Jajarannya untuk segera proses dan tindak lanjuti pengaduan masyarakat dimana Sofyan A Djalil Bersama kroninya RB Agus Wijayanto diduga lakukan praktik mafia tanah dengan turut serta terlapor PT Buana Estate dan PT Sentul City (sweeteng) agar penegakan supremasi hukum dapat berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. Semoga Bapak Presiden selalu dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa serta diberikan kesehatan agar dapat meminpin bangsa Indonesia serta membangun jiwa anak bangsa NKRI seutuhnya. Salam sehat dan salam sukses selalu buat Bapak Presiden. Dalam hal ini Komisi II DPRRI juga diharapkan untuk segera membentuk pansus supaya tanah Negara kembali kepada Negara dan tanah Rakyat kembali kepada Rakyat. Mari kita basmi praktik mafia tanah dari bumi pertiwi Indonesia. Salam anak bangsa, imbuhnya untuk menutup pembicaraan. (Arnie/Rodeo/ Endreuw Purba/Tim Redaksi RBN)